Berlin 2013: Menganimasikan Ancaman atas Kedaulatan

  • 0

Berlin 2013: Menganimasikan Ancaman atas Kedaulatan

Saya menjadi pembicara pertama pada symposium “Earth Resilience” yang berlangsung di KBRI Berlin. Sebelum itu tentu saja ada sambutan-sambutan dari Bapak Duta Besar Dr. Eddy Pratomo dan Bapak Atase Pendidikan, Prof. Dr. Agus Rubiyanto. Saya sudah mendengar nama dan kiprah Pak Dubes selaku anggota tim perunding batas maritim Indonesia namun belum pernah bertemu sebelumnya. Sesungguhnya ada rasa gentar berbicara soal hukum laut di depan seorang penyandang gelar doktor di bidang hukum dan merupakan anggota tim delegasi Indonesia untuk Batas Maritim. Meski begitu, saya tidak ada pilihan lain kecuali terus maju.

Sebelum presentasi dimulai saya berkenalan dengan beberapa peserta yang datang dari berbagai negara. Ada beberapa yang saya sudah kenal seperti Vivi dari Russia dan Adhitya dari Belanda. Banyak teman baru yang menyenangkan, pintar dan enak diajak berbicara. Saya sudah menduga akan belajar banyak dari orang-orang hebat ini. Selain dengan mahasiswa, saya juga berkenalan dengan peneliti senior seperti Dr. Desy Irawaty dari Belanda, dr. Tik Tan dari Belanda dan Bapak Sanusi Satar dari Jakarta. Meski saya merasa begitu bersemangat bertemu dan bertukar gagasan dengan banyak orang, tetap saja saya grogi saat akan tampil pertama. Meski begitu, tentu saja saya berusaha keras untuk tidak menunjukkannya.

Mas Johny yang bertindak selaku moderator kemudian memperkenalkan saya sebagai peserta terjauh. Saya memang satu-satunya dari Australia, sekitar 30 jam perjalaan dari Berlin. Tepuk tangan hadirin memberi kekuatan dan saya mulai presentasi saya dengan beberapa kelakar kecil, mencoba mencairkan suasana. Lelucon tentang nama saya yang berupa simple past tense, hampir selalu berhasil dan sekali lagi telah menyelamatkan saya di Berlin hari itu. Sementara itu saya diam-diam memerhatikan reaksi Pak Dubes meskipun beliau tidak sadar saya ‘waspadai’. Diantara semua di ruangan itu, Pak Dubeslah yang paling saya ‘antisipasi’ karena rupanya beliau yang paling paham isu hukum laut dan sekitarnya. Pak Dubes tidak nampak begitu antusias meskipun tidak juga terlihat kecewa. Diplomat memang sulit ditebak. Air muka dan reaksinya bisa menjerumuskan. Maka jangan pernah percaya dengan diplomat. Ini teori saya?

Satu per satu animasi dari slide saya berkelebat-kelebat di belakang saya. Ada tiga layar di depan sehingga semua perserta menikmati suguhan saya dengan leluasa. Meski demikian, adanya tiang besar di tengah ruangan membuat situasi sedikit rumit karena saya tidak leluasa berinteraksi dengan semua pemirsa. Syukurlah, setidaknya peserta tidak merasakan kesulitan posisi saya ini. Saya merasa kurang mantap karena saya punya kebiasaan berinteraksi atau setidaknya saling memandang dengan audience ketika presentasi. Kali ini terhalang tiang dan saya cukup sering harus menoleh ke belakang melihat layar karena tidak ada layar monitor di depan saya. Hal ini sebenarnya tidak begitu cantik untuk presentasi karena saya terpaksa harus sering ngobrol dengan layar meskipun saya usahakan seminimal mungkin. Mudah-mudahan peserta symposium tidak terganggu dengan itu semua.

Seperempat waktu berjalan, saya mulai yakin kalau pemirsa menikmati presentasi saya, terutama animasinya yang kata sebagian orang tergolong adanced. Setidaknya begitu sebagian orang menilainya setelah presentasi. Atau mungkin mereka basa-basi saja agar saya berikan file PPTnya *senyum*. Maka selanjutnya berjalan baik. Saya jelaskan dengan animasi bagaimana kenaikan air laut dapat mengubah garis pantai yang pada akhirnya mengubah batas terluar zona maritim. Saya juga sampaikan bagaimana sebuah pulau bisa berubah status menjadi bukan pulau atau bahkan tenggelam sama sekali jika air laut mengalami kenaikan hingga level tertentu. Berkurangnya klaim atas laut akibat kenaikan muka air laut ini juga saya sajikan dalam ilustrasi interaktif yang semoga bisa dipahami oleh pemirsa. Singkat kata, saya menikmati presentasi itu dan semoga demikian pula peserta di ruangan itu. Saya masih selalu perhatikan wajah Pak Dubes yang kini nampak sedikit lebih ‘jinak’ dibandingkan di saat awal. Saya hanya berharap saya tidak menyampaikan terlalu banyak kesalahan dari segi hukum. Saya masih tegang menunggu komentar beliau nanti, itupun jika berkenan.

Mas Johny membuka sesi tanya jawab setelah memberi apresiasi yang membersarkan hati. Saya coba yakini, pujian itu bukan sekedar basa-basi. Ada tiga pertanyaan untuk saya. Pertama tentang Sipada dan Ligitan sertai isu kehilangan pulau secara umum, kedua tentang reklamasi dan kaitannya dengan zona maritim dan ketiga adalah perlunya perjanjian dengan negara ketiga (trilateral) dalam menetapkan batas maritim. Rasanya ketiga pertanyaan itu berhasil saya jawab dengan baik dan semoga memuaskan penanya. Jawaban saya atas pertanyaan terkait Sipadan dan Ligitan bahkan mendapat tepuk tangan ketika saya bilang “Indonesia did not lose any island it only failed to add to more islands”.

Kekahawatiran saya tentang respon Pak Dubes akhirnya terjawab. Setelah presentasi, beliau mendekati saya dan menyampaikan apreasiasinya yang begitu positif. Saya yakin, beliau tidak mendapat hal baru dari presentasi saya tetapi ini adalah bentuk penghargaan seorang senior kepada juniornya yang masih meraba-raba belajar hukum laut. Apresiasi itu membesarkan hati dan sayapun bercakap-cakap dengan beliau tentang banyak hal. Belakangan saya tahu kalau beliau tentu saja adalah teman dari orang-orang baik yang terlibat dalam negosiasi batas maritim Indonesia. Laut memang luas tetapi kalau melihat orang-orang yang berkecimpung di dalamnya, maka kita akan merasa dunia begitu sempit karena setiap orang akan saling kenal. Jumlah penggiat isu kelautan dan hukum laut di Indonesia memang tidak banyak.

Kepada Bapak Dubes Eddy Pratomo, saya hadiahkan buku saya Batas Maritim Antarnegara dan Beyond Borders yang beliau terima dengan baik. Sempat juga saya sampaikan salam dari diplomat Indonesia di Australia, terutama Pak Konjen Garry Jusuf dan Dubes Indonesia untuk Brazil, Bapak Sudaryomo, kepada beliau. Begitulah Lingkaran diplomasi di Indonesia. Mengenal satu orang bisa jadi merupakan simpul koneksi pada banyak orang lainnya karena mereka saling terhubung. Saya belajar banyak dari para diplomat Indonesia, tua dan muda, yang mewakili wajah Indonesia di tanah-tanah asing yang jauh dari ibu pertiwi. Kepada mereka, selain kepada media massa, kita meletakkan harapan tentang pencitraan negeri yang posotif tanpa mengabaikan realitas.


Log out of this account

Leave a Reply