Batas Maritim untuk Orang Awam

  • 0

Batas Maritim untuk Orang Awam

Pengantar
Belum pernah isu kelautan dibicarakan seheboh ini di Indonesia. Meskipun Indonesia secara geografis dan hukum merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, selama ini isu kelautan lebih sering menjadi pelengkap penderita. Media dan pakar dadakan tiba-tiba membicarakannya jika hanya ada kasus atau sengketa atau insiden. Para pakar itupun biasanya mengatakan “pemerintah selalu reaktif, hanya bertindak jika sudah ada kejadian. Selama ini pemerintah ke mana saja sih?” Yang lebih sering terjadi sesungguhnya adalah para pakar itu yang reaktif, latah berkomentar soal batas maritim jika mendengar berita buruk di TV padahal selama ini tidak pernah melakukan penelitian serius soal batas maritim.

Tulisan ini bukan utuk para pakar, apalagi pakar dadakan. Tulisan ini adalah untuk yang orang soal batas maritim. Jika setelah membaca ini orang awam itu kemudian berpura-pura menjadi pakar dan mendadak, itu adalah efek samping yang bukan merupakan tujuan tulisan ini.

Land dominates the Sea: Darat Dahulu, Lautan Kemudian
Menurut hukum internasional yang dianut bangsa-bangsa di dunia, wilayah dan batas wilayah suatu negara adalah hasil warisan dari penguasa pendahulu, dalam hal ini para penjajah. Prinsip ini disebut dengan uti posidetis juris yang juga mendasari konsep kewilayahan di Asia Tenggara. Wilayah Indonesia adalah bekas wilayah Belanda, demikian pula wilayah Malaysia adalah warisan dari Inggris. Menariknya, secara umum wilayah yang ‘tidinggalkan’ oleh penjajah adalah wilayah darat. Artinya, wilayah pasti suatu negara yang baru merdeka umumnya meliputi daratan, sedangkan lautannya akan diatur kemudian.

Penting untuk memahami prinsip land dominates the sea yang kurang lebih berarti bahwa suatu negara menguasai daratan lalu dari penguasaan atas daratan itu dia berhak juga menguasai laut. Yang perlu diingat, penguasaan atas laut itu mengikuti kaidah tertentu yang terkiat dengan Jarak dan bentuk dasar laut, misalnya. Hal ini tentu berbeda dengan daratan yang hanya berpedoman pada kaidah warisan dari pendahulu atau penjajah. Maka dari itu, jika berbicara soal wilayah daratan, jarak menjadi tidak berpengaruh. Misalnya, jauh atau dekatnya jarak bukan faktor penentu apakah suatu pulau merupakan bagian dari suatu negara atau tidak. Itulah yang bisa menjelaska mengapa Pulau Christmas yang dekat sekali dengan Jawa (sekitar 350 km) menjadi bagian dari kedaulatan Australia yang jaraknya 1500 km dari Pulau Christmas. Jarak bukan penentu.

Untuk bisa mengatakan “ini laut kita”, sebuah negara harus melakukan pengukuran menurut kaidah hukum yang berlaku. Sebelum batas terluar kawasan laut itu ditetapkan atau sebelum batas dengan negara tetangga itu ditetapkan, sebuah negara tidak bisa mengatakan “ini laut kita”. Jikapun bisa, itu bisa jadi adalah klaim sepihak yang masih memerlukan perundingan dengan negarala lain. Ingat, kewenangan suatu negara terhadap laut adalah konsekuensi dari kedaulatannya atas daratan. Land dominates the sea, daratan dahulu, lautan kemudian.

Kedaulatan dan Hak Berdaulat
Terkait dengan ruang dan kawasan negara, istilah kedaulatan (sovereignty) itu berbeda dengan hak berdaulat (sovereign rights). Kedaulatan adalah kewenangan penuh atas wilayah (territory) yang dalam hal ini meliputi semua wilayah daratan, perairan kepulauan dan laut territorial. Laut teritorial adalah kawasan laut dengan lebar hingga 12 mil laut (22 km) dari garis pangkal. Gambar 1 berikut menggambarkan zona maritim suatu negara yang dikurkur dari garis pangkal. Zona maritim yang berbeda itu merliputi: perairan pedalaman, laut teritorial, ZEE, laut bebas, landas kontinen (dasar laut) dan Kawasan (the Area).

zonamaritim

Gambar 1 Kawasan maritim yang bisa diklaim negara pantai menurut UNCLOS

Di luar laut teritorial, sebuah negara pantai tidak memiliki kedaulatan penuh (sovereignty) tetapi hak berdaulat (sovereign rights). Hal ini sering dipahami secara kurang tepat oleh masyarakat umum. Kedaulatan dan hak berdaulat adalah dua hal yang berbeda dan itu jelas definisinya dalam konteks hukum internasional. Pada kedaulatan, berlaku kekuasaan penuh atas wilayah (territory) dan di sana berlaku hukum nasional. Sementara itu, pada hak berdaulat, tidak berlaku kekuasan penuh tetapi hak untuk mengelola dan memanfaatkan. Kawasan tempat berlakunya hak berdaulat ini dikenal dengan yurisdiksi, bukan wilayah atau territory. Dalam hal ini, di ZEE, misalnya, Indonesia tidak punya kedaulatan penuh tetapi berhak untuk mengelola kekayaan alamnya dan negara lain tidak berhak memanfaatkan kekayaan alam itu tanpa izin dari Indonesia.

Limits and Boundaries: Batas Terluar Zona Maritim dan Batas Maritim
Sebelum berbicara tentang batas maritim, perlu memahami hak atau kewenangan suatu negara pantai (coastal State) seperti Indonesia atas kawasan laut. Seperti yang disampaikan sebelumnya, sebuah negara pantai berhak atas laut territorial (hingga 12 mil laut), zona tambahan (hingga 24 mil laut), ZEE (hingga 200 mil laut), dan landas kontinen atau dasar laut yang lebarnya bisa lebih dari 200 mil laut. Ini berdasarkan ketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Dari mana lebar zona maritim ini diukur? Dari garis pangkal. Garis pangkal ini bisa berupa garis pantai ketika air surut atau bisa juga berupa garis lurus yang menghubungkan titik paling tepi pulau-pulau terluar. Indonesia, dalam hal ini, berhak atas garis pangkal demikian yang disebut garis pangkal kepulauan. Gambar 2 berikut mengilustrasikan secara teoritis kawasan maritim yang bisa diklaim oleh sebuah negara pantai seperti Indonesia.

kepulauan

Gambar 2 Kawasan maritim yang bisa diklaim negara pantai (kepulauan) menurut UNCLOS

Dari gambar di atas bisa dilihat bahwa luas laut yang bisa diklaim sangatlah luas menurut UNCLOS, jauh lebih luas dari daratannya sendiri. Meski demikian, mungkinkah sebuah negara bisa mengklaim laut yang begitu luas? Tentu tidak mungkin karena di sekitarnya pasti ada negara tetangga yang juga memiliki hak yang sama. Artinya, meskipun suatu negara berhak atas ZEE sejauh 200 mil laut, negara tersebut tentu tidak bisa mengklaim semuanya jika tetangganya berada kurang dari 2 x 200 mil laut darinya. Bukankah negara tetangganya juga berhak atas 200 mil laut ZEE? Di Selat Malaka, misalnya, Indonesia tidak mungkin mengkalim ZEE hingga 200 mil laut karena jarak Indonesia dengan Malaysia kurang dari 2 x 200 mil laut. Dalam situasi sperti ini harus dilakukan pembagian laut yang dikenal dengan istilah delimitasi atau penetapan batas maritim. Artinya, suatu negara tidak bisa mengatakan “Ini laut saya” sebelum adanya proses delimitasi yang disepakati semua pihak. Secara hukum, pernyataan suatu negara seprti “kami akan pertahankan setiap jengkal laut kami” belum bermakna apa-apa jika belum ada garis batas yang membagi laut di antara negara tersebut dan tetangganya.

Karena posisi geografisnya yang berdekatan, tidak mungkin ada negara di dunia yang bisa mendapatkan semua zona maritim seperti yang ditentukan UNCLOS tanpa berurusan dengan negara tetangganya. Karena sama-sama berhak dan jaraknya yang berdekatan, negara-negara pantai harus berbagi laut yang disebut dengan delimitasi maritim, seperti diilustrasikan pada Gambar 3.

delimitasi

Gambar 3 Prinsip delimitasi batas maritim (Sumber: diadaptasi dari Arsana (2007)).

Karena posisi geografisnya yang berdekatan dengan negara lain, Indonesia memiliki klaim maritim yang tumpang tindih dengan sepuluh negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Artinya, berdasarkan UNCLOS, Indonesia wajib menetapkan batas maritim dengan kesepuluh negara tetangga tersebut. Indonesia sudah mulai menetapkan batas maritim sejak tahun 1969 dengan Malaysia di Selat Malaka dan Laut China Selatan. Sejak itu, beberapa batas maritim juga disepakati dengan India, Thailand, Singapura, Vietnam, Papua Nugini, dan Australia, Filipina, meskipun belum tuntas. Sementara itu belum ada batas maritim yang disepakati dengan Palau dan Timor Leste. Gambar 4 mengilustrasikan Indonesia dengan sepuluh tetangga dan batas maritim yang sudah, sedang ataupun akan ditetapkan dengan negara tetangga.

kedaulatan

Gambar 4 Peta Batas Maritim Indonesia: Kedaulatan dan Hak Berdaulat

Jika sudah diatur mengapa tidak segera saja dilakukan delimitasi? Mengapa tidak tetapkan saja garisnya menurut petunjuk hukum? Ternyata tidak semudah itu. Hukum yang mengatur delimitasi batas maritim tidak secara spesifik menyebut metode dan cara penetapan garis. Untuk ZEE atau landas kontinen, misalnya, disebutkan kedua belah pihak harus menetapkan batas maritim untuk mencapai “solusi yang adil” (Pasal 74). Solusi yang adil ini kemudian menjadi bahan perdebatan dalam setiap negosiasi yang membuat prosesnya bisa sangat lama.

Delimitasi batas maritim dilakukan secara bilateral melalui negosiasi, mediasi, arbitrasi atau melalui pengadilan internasional seperti International Court of Justice (ICJ) atau International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS). Cara apapun yang ditempuh, penetapan batas maritim tidak bisa dilakukan dengan cepat. Rekor terlama Indonesia adalah menyelesaikan batas maritim dalam waktu sekitar 25 tahun dengan Vietnam di Laut China Selatan. Yang cukup cepat adalah batas maritim dengan Singapura (segmen barat) yang diselesaikan dalam waktu sekitar lima tahun. Artinya, akan ada periode yang cukup lama Indonesia hidup berdampingan dengan tetangga tanpa batas maritim yang pasti.

Pada saat artikel ini ditulis, Indonesia masih harus menyelesaikan banyak segmen batas maritim di lokasi berbeda. Meskipun sudah ada garis batas, misalnya antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka, garis tersebut hanya membagi dasar laut (landas kontinen), tidak membagi perairan (ZEE). Akibatnya, garis tersebut tidak bisa dijadikan pedoman dalam memantau aktivitas nelayan yang terjadi di air, bukan di dasar laut.

Jika batas maritim (terutama ZEE) belum ada, bagaimana mungkin terjadi pelanggaran batas oleh nelayan? Batas mana yang dilanggar? Inilah cikal bakal persoalannya. Sebelum menetapkan batas maritim, Indonesia dan negara tetangga biasanya memiliki pendapat sendiri terkait lokasi batas maritim yang tepat menurut masing-masing negara. Masing-masing memiliki klaim batas maritim sepihak yang hampir pasti berbeda satu sama lain. Umumnya, klaim Indonesia dan negara tetangga akan membentuk kawasan maritim tumpang tindih (overlapping claim). Artinya akan ada kawasan maritim tertentu yang diklaim oleh Indonesia maupun negara tetangga. Untuk menegaskan klaim tersebut, umumnya masing-masing negara akan melakukan patroli atau penjagaan yang tugasnya melarang atau menangkap pihak lain yang datang atau beraktivitas di kawasan tersebut. Patroli ini akan berpedoman pada sebuah peta yang menggambarkan klaim sepihak sebagai batas terluar kawasan maritim negaranya. Sementara itu, nelayan dari negara tetangga menggunakan peta sendiri yang juga menggambarkan klaim sepihak negaranya. Di sinilah biasanya nelayan menjadi ‘korban’, ditangkap padahal yang dilanggar adalah garis yang ditetapkan sepihak. Ilustrasi situasi ini bisa dilihat pada Gambar 5 berikut.

tumpangtindih

Gambar 5 Klaim sepihak A dan B yang menimbulkan kawasan tumpang tindih

Artinya, pelanggaran yang dimaksud sesunggunya adalah pelanggaran atas klaim sepihak, bukan pelanggaran atas garis kesepakatan bersama. Nelayan dari negara A ditangkap karena ‘melanggar’ garis batas yang merupakan klaim sepihak negara B, demikian pula sebaliknya. Jika petugas patroli bertemu di kawasan klaim tumpang-tindih tersebut bukan tidak mungkin terjadi bentrokan karena keduanya merasa berpatroli di kawasan maritimnya sendiri. Hal ini mirip dengan apa yang terjadi bulan Agustus 2010 saat petugas Indonesia menangkap 7 nelayan Malaysia dan kemudian 3 petugas Indonesia ditangkap oleh petugas Malaysia di perairan Tanjung Berakit.

Apa yang perlu dilakukan? Yang utama adalah mempercepat proses delimitasi batas maritim agar pembagian laut menjadi jelas. Dalam pasal 74 atau 83 UNCLOS disebutkan bahwa jika belum dicapai kesepakatan maka negara bersangkutan wajib membuat kesepakatan sementara yang bersifat praktis namun tidak boleh merugikan delimitasi final di kemudian hari. Salah satu implementasi dari aturan ini misalnya adalah membuat kawasan klaim tumpang tindih sebagai kawasan yang dikelola bersama. Artinya, nelayan dari kedua negara berhak melakukan penangkapan ikan dengan mengikuti aturan tertentu. Alternatif lain adalah membebaskan kawasan tumpang tindih tersebut dari aktivitas apapun. Dengan demikian, tugas kedua negara bukanlah menangkap para ‘pelanggar’ tetapi memastikan tidak ada yang masuk kawasan tumpang tindih tersebut. Kedua alternatif ini tentu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Yang jelas, membiarkan nelayan selalu tertangkap di kawasan klaim maritim tumpang tindih bukanlah pilihan terbaik meskipun kehadiran mereka, dalam beberapa hal, bisa menguatkan klaim. Kesimpulannya, istilah ‘pelanggaran’ yang dilakukan oleh nelayan Indonesia maupun negara tetangga di kawasan perbatasan belum tentu merupakan pelanggaran atas garis kesepakatan. Seringkali nelayan ditangkap karena melewati garis yang dikalim secara sepihak oleh masing-masing negara. Oleh karena itu, menetapkan batas maritim harusnya menjadi agenda prioritas.

Dengan ini, kini bisa dipahami bahwa Indonesia sudah menetapkan batas maritim dengan beberapa negara tetangga. Meski demikian, masih banyak segmen batas maritim yang belum tutas diselesaikan dengan negara tetangga. Untuk segmen batas yang belum disepakati secara tuntas dengan negara tetangga, Indonesia sudah punya pandangan sendiri terhadap garis batas maritim yang diinginkan. Inilah yang dituangkan dalam Peta NKRI. Artinya, kita semua harus paham jika melihat peta itu, mana yang merupakan garis yang sudah disepakati, mana yang merupakan klaim Indonesia secara sepihak dan masih perlu kesepakatan dengan negara lain. Dengan begini, kita sesungguhnya tahu, bahwa istilah “laut kita” tidak sepenuhnya bermakna secara hukum jika batasnya belum jelas. Meski demikian, secara politik itu disampaikan dalam rangka memperkuat klaim.

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Tidak berlebihan jika kita menginginkan Indonesia sebagai kiblat dalam urusan kelautan dan kemaritiman. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah memahami dengan baik persoalan kelautan ini berdasarkan kaidah ilmu, teknis dan hukum yang sesuai. Tidak elok jika kita berteriak membela dan menjaga laut jika kita bahkan tidak paham aturan-aturan dasar yang mengatur soal laut. Kita bisa mengatakan “mari manfaatkan sumberdaya di laut kita dengan optimal” jika kita tahu dengan pasti batas kewenangan kita atas laut. Kita bisa mengatakan bahwa tetangga kita mencuri ikan di laut kita jika kita tahu dengan persis bahwa batas maritim antarnegara sudah ditetapkan dengan kesepakatan. Batas maritim memang tidak sederhana tetapi manusia Indonesia tidak bisa lepas hidupnya dari pembicaraan itu. Memiliki pemahaman dasar yang baik, meskipun sederhana, sangat amat disarankan. Tidak untuk menjadi pakar, apalagi dadakan, tetapi untuk bisa bereaksi dengan tepat dan tidak menjadi korban nasionalisme yang penuh emosi. Mari kita bela kedaulatan dan hak berdaulat kita di laut dengan nasionalisme cerdas.

PS. Tulisan ini adalah modifikasi dari tulisan sebelumnya yang pernah tayang dalam bentuk PDF di blog ini.


Log out of this account

Leave a Reply