Kekalahan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan?
Category : Blog Maritime Boundaries
Yang ditunggu-tunggu tentang Laut Tiongkok Selatan (LTS) akhirnya tiba. Teka-teki yang menyisakan pertanyaan dan bahkan ketidakpastian akhirnya terungkap dengan terang benderang. Permanent Court of Arbitration (PCA) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda akhirnya memutuskan kasus Laut Tiongkok Selatan antara Filipina dan Tiongkok. Putusan PCA ini akan menjadi yurisprudensi, sebuah hukum baru, yang menegaskan, menjelaskan dan mendukung Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) dengan ketentuan-ketentuan yang lebih rinci.
Putusan PCA ini ‘tidak mengejutkan’ karena sifatnya menegaskan kebenaran dan ketentuan pasal-pasal UNCLOS. Secara umum putusan ini membawa angin segar dan optimisme karena hukum laut internasional benar-benar dipedomani dengan sungguh-sungguh. Meski cukup terduga, putusan ini dianggap sebagai penerang bagi ketidakpastian yang terjadi selama ini.
Putusan PCA menegaskan bahwa tidak ada dasar hukum bagi Tiongkok untuk mengklaim hak historis ataupun sumberdaya di kawasan laut yang dilingkupi oleh sembilan garis putus-putus atau nine-dashed line (9DL). Hal ini bertentangan dengan yang selama ini diklaim oleh Tiongkok terkait traditional fishing ground di kawasan Laut dekat Natuna. Klaim 9DL Tiongkok yang selama ini misterius dan melingkupi 80-90% LTS itu tumbang di depan hukum.
Yang dilakukan Indonesia selama ini di ZEE dekat Natuna, kini mendapat dukungan hukum. Ketika nelayan Tiongkok menangkap ikan di perairan Natuna, Indonesia sudah melakukan tindakan di lapangan dan mengajukan nota protes ke Pemerintah Tiongkok. Putusan PCA ini menjadi penguat secara legal atas tindakan Indonesia itu.
Dengan putusan PCA ini, keraguan akan ada atau tidaknya tumpang tindih perairan (terutama ZEE) antara Indonesia dengan Tiongkok semestinya tidak ada lagi. Dengan begitu, Tiongkok jelas bukan tetangga bagi Indonesia dalam batas maritim sehingga tidak ada yang perlu dirundingkan.
Hal penting lain dari putusan PCA adalah status hukum obyek geografis yang selama ini menjadi sumber sengketa di LTS. Gugusan pulau yang dikenal dengan Kepulauan Spratly, yang terdiri dari ratusan obyek geografis, selama ini menjadi sumber sengketa karena diklaim kepemilikannya oleh banyak pihak kecuali Indonesia. Sebuah pulau berhak atas ZEE jika terbentuk alami, dikelilingi air, selalu muncul saat air pasang dan mampu mendukung keberlangsungan kehidupan manusia. Lebih jauh, putusan PCA merinci bahwa dukungan ini harus dalam kapasitas obyektif alami bagi komunitas manusia atau bagi aktivitas ekonomi secara stabil yang tidak tergantung pada sumberdaya luar. Sebagai contoh, adanya aparat keamanan di suatu daratan yg bertahan dengan sumberdaya yang didatangkan dari luar tidak serta merta membuat daratan itu memenuhi syarat sebagai pulau. PCA memutuskan bahwa tidak ada satupun dari obyek di Kepulauan Spratly yang memenuhi syarat sebagai pulau.
UNCLOS membedakan definisi pulau, karang dan elevasi pasut serta haknya atas kawasan maritim juga berbeda. Sebuah pulau, menurut pasal 121 UNCLOS, berhak atas kawasan laut hingga 200 mil laut atau lebih. Obyek berupa karang yang tidak mampu mendukung keberlangsung kehidupan manusia hanya berhak atas laut territorial sejauh 12 mil laut saja. Dengan putusan ini maka tidak ada satupun obyek di LTS itu yang berhak atas ZEE (200 mil laut) atau landas kontinen (dari 200 mil laut).
Maknanya, klaim laut dari obyek-obyek di Kepulauan Spratly tidak akan sampai tumpang tindih dengan klaim laut Indonesia dari Kepulauan Natuna sehingga, lagi-lagi, tidak perlu menetapkan batas maritim. Kesimpulannya tetap sama bahwa tetangga Indonesia di LTS hanya Vietnam dan Malaysia. Batas dasar laut (landas kontinen) antara ketiganya sudah ditetapkan dan kini ketiganya sedang menyelesaikan garis batas untuk kolom air (ZEE).
Terkait status hukum sebuah pulau, putusan PCA harus diacu untuk menguji status fitur-fitur geografis di negara-negara sekitar Indonesia. Akan terungkap secara hukum mana pulau yang bisa mengklaim ZEE mana yang tidak. Obyek-obyek seperti Pulau Perak dan Pulau Jarak (Malaysia) di Selat Malaka, Pulau Sipadan dan Ligitan (Malaysia) di Laut Sulawesi, Batu Putih/Pedra Branka (Singapura) di Selat Singapura atau Karang Helen dan Tobi (Palau) perlu diuji dengan kriteria ini. Jika obyek tersebut tidak memenuhi syarat mendapat ZEE maka perannya dalam menentukan garis batas ZEE menjadi nihil. Dengan kata lain, mereka bisa diabaikan dalam penetapan garis batas maritim dengan Indonesia dan hanya mendapat laut teritirial selebar 12 mil laut.
Apakah putusan PCA ini merupakan kekalahan bagi Tiongkok? Mungkin tidak bijaksana menyebut demikian. Yang pasti, putusan ini merupakan menegasan akan kebenaran hukum laut internasional. Semua pihak sebaiknya menerima dan melaksanakannya. Pihak yang diuntungkan juga tidak perlu berlebihan ‘berpesta dalam kemenangan’. Seperti pepatah Jawa, menang tanpa ngasorake, yang diuntungkan perlu tetap tenang sambil beraharap bahwa yang tidak terpenuhi tuntutannya bisa menerima dengan bijaksana. Tiongkok sebagai kekuatan baru di kawasan tentu perlu menentukan sikap yang tepat untuk menjaga reputasinya.
Tulisan ini terbit di Koran Sindo tanggal 19 Juli 2016.