Reklamasi Tak Selalu Seksi
Category : Blog
Reklamasi Teluk Benoa menjadi isu yang menyita perhatian banyak orang di Bali bahkan di tingkat nasional saat ini. Para aktivitas bergerak, ilmuwan beropini dan pro kontra pun terjadi. Mereka yang pro reklamasi sering menceritakan keindahan dan manfaat reklamasi untuk masa depan Bali. Reklamasi atau pembuatan pulau Jumeirah Palm Island di Uni Emirat Arab kerap menjadi contoh.
Jika Anda belum berkesempatan untuk melihat dan menikmati langsung, cobalah bayangkan suasana di Jumeirah Palm Island. Bayangkanlah diri Anda berjemur di sana menikmati segelas minuman dingin khas tropis sambil membaca buku atau sekedar bermalas-malasan. Bayangkan pula, dua dekade lalu, pulau itu tidak ada dan yang ada ketika itu adalah laut. Tentu Anda tidak bisa menikmati suasana eksotis itu jika tidak ada reklamasi yang kemudian membuat pulau itu ada. Reklamasi memang bisa menghadirkan ruang baru untuk menikmati alam.
Apakah reklamasi selalu seindah yang kita bayangkan tetang Jumeirah Palm Island. Mari kita intip apa saja yang perlu dipahami dan bahkan diwaspadai seputar reklamasi. Tulsain ini tidak secara khusus membahas reklamasi Teluk Benoa Bali tetapi mencoba memaparkan gagasan dari perspektif yang lebih umum.
Kita semua tahu, reklamasi adalah bentuk intervensi manusia terhadap alam. Salahkah itu? Memang tidak mudah menjawab ini. Kita telah melihat berbagai intervensi manusia terhadap alam dan tidak sedikit yang menghasilkan kebaikan. Pemasangan pemecah gelombang di sekitar Tanah Lot, misalnya, adalah intervensi yang dipercaya banyak orang sebagai langkah positif untuk melindungi bentang alam yang penting. Meski demikian, intervensi terhadap alam yang berupa reklamasi ini tentu saja melawan kealamian. Pelaksanaannya perlu kearifan dan pengetahuan yang sangat rinci. Perlawanan terhadap alam, terutama jika dilakukan tanpa kearifan ilmu pengetahuan yang memadai akan berujung petaka.
Pada kawasan yang rawan bencana seperti Indonesia atau kawasan lain, reklamasi memiliki ancaman tersendiri. Reklamasi yang merupakan intervensi manusia sangat mungkin memiliki kekuatan dan daya tahan lingkungan yang lebih rendah dibandingkan lansekap alami. Jika kawasan reklamasi ini mengalmi bencana alam maka kerentanannya bisa lebih tinggi dibandingkan kawasan lain yang alami. Bencana yang mungkin muncul seperti gempa bumi, tsunami dan gelombang pasang, erosi karena arus dan gelombang, kenaikan muka air laut karena perubahan iklim, badai tropis, dan bencana lainnya. Hal ini juga dikemukakan oleh Arun Kumar dalam tulisanya yang berjudul Reclaimed Islands and New Offshore Townships in the Arabian Gulf: Potential Natural Hazards dan terbit di Current Science, Vol. 96, NO. 4, pada 25 Februari 2009.
Hadirnya material baru dari berbagai tempat untuk reklamasi bisa membahwa organisme asing yang belum tentu cocok bagi kawasan reklamasi tersebut. Organisme asing ini bisa bersifat predator atau pengganggu bagi organisme asli di kawasan reklamasi sehingga kehadirannya bisa menimbulkan bencana dan bahkan kepunahan. Pada akhirnya, reklamasi yang demikian bisa menimbulkan ketimpangan ekosistem yang pada jangka panjang bisa menimbulkan bahaya yang lebih besar. Penelitian yang dilakukan oleh Xuan Wang, Weiqi Chen, Luoping Zhang, Di Jin, dan Changyi Lu We mengungkapkan bahwa usulan reklamasi di Tong’an Bay, Xiamen, China bisa menimbulkan biaya kerusakan ekosistem yang jauh lebih besar dibandingan potensi kerugian internal proyek reklamasi itu sendiri. Penelitian ini dipublikasikan dengan judul estimating the ecosystem service losses from proposed land reclamation projects: A case study in Xiamen di Jurnal Ecological Economics Volume 69 tahun 2010.
Reklamasi juga dapat mengganggu pertumbuhan, reproduksi serta distribusi fitoplankton yang akhirnya menyebabkan gangguan pada zooplankton yang hidupnya bergantung pada fitoplankton. Selain itu, pengerukan dasar laut bisa secara langsung mempengaruhi kondisi bentos sehingga jumlahnya berkurang atau bahkan punah. Polutan yang berasal dari daratan yang jauh juga bisa hadir di kawasan reklamasi karena proses pemindahan material untuk reklamasi tersebut sehingga secara langsung bisa mengganggu kehidupan pesisir. Singkatnya, proyek reklamasi, terutama jika tidak dikerjakan dengan pertimbangan yang matang dan hati-hati, bisa berdampak sangat buruk bagi lingkungan pesisir dan laut, ditandai dngan kerusakan biodiversitas. Hal ini ditegaskan, misalnya, oleh Kunyu Li, Xianbin Liu, Xinggui Zhao, dan Weihua Guo dalam tulisannya Effects of Reclamation Projects on Marine Ecological Environment in Tianjin Harbor Industrial Zone di Procedia Environmental Sciences, Volume 2, tahun 2010.
Untuk memastikan dampak lingkungan akibat reklamasi ini bisa dikendalikan dan dipantau, perawatan yang bersifat kontinyu wajib dilakukan. Sebagai contoh, kegiatan penyelaman dan penelitian untuk mengetahui kondisi ekosistem laut di sekitar reklamasi wajib dilakukan secara berkala. Hal ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi pelaku industri dan bisnis di Indonesia yang konsistensi dan kedisiplinannya terkait perawatan dan pemelirahaan masih perlu ditingkatkan. Reklamasi, dalam pelaksanaannya, mungkin bisa berjalan baik tetapi bisa menjadi sebuah bom waktu yang menyisakan bencana di masa depan jika dikelola tanpa perawatan yang konsisten dan berkelanjutan.
Perubahan bentuk garis pantai akibat reklamasi bisa mengubah pola aliran arus laut di kawasan tersebut. Dengan perubahan arus laut ini maka sangat mungkin terjadi kerusakan. Misalnya, ada bagian pesisir yang semula tidak mendapat terjangan arus laut yang kuat kini mendapat terjangan yang lebih kuat akibat perubahan arus laut ini. Dengan kata lain, reklamasi yang mungkin berhasil di satu kawasan bisa jadi menimbulkan kerusakan yang parah di kawasan pesisir lain. Hal ini tentu harus menjadi perhatian karena pada dasarnya reklamasi tidak bisa dilaksanakan secara egois dan hanya mempertimbangkan kondisi satu titik lokasi di kawasan pesisir.
Reklamasi yang bersifat masif sehingga menghadirkan ruang baru bagi aktivitas manusia bisa mengundang pendatang dari berbagai kultur yang berbeda. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim Aldarmaki tahun 2008 dalam tesisnya di Jurusan Geografi University of Southampton, Faculty of Engineering Science & Mathematics, pembangunan Jumeirah Palm Island bisa berdampak negatif bagi masyarakat lokal (indigenous people) yang merupakan minoritas karena hanya 12% dari populasi total. Intinya, reklamasi yang ditujukan untuk memanjakan kaum pendatang yang bermodal besar bisa memarginalkan kedudukan masyarakat lokal sehingga aktivitas yang terkait tradisi dan ritual bisa terancam.
Beban sosial yang meningkat di kawasan reklamasi secara langsung akan menjadi beban tambahan bagi lingkungan yang lebih luas karena kawasan reklamasi tidak berdiri sendiri. Kawasan reklamasi, terutama jika dijadikan kawasan elit dengan tingkat konsumsi tinggi, memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap tempat lain dalam hal pasokan nutrisi, energi dan sebagainya. Kawasan reklamasi tidak bisa berjalan sendiri sehingga pembangunannya tidak bisa egois dan berharap semua pasokan dari luar tidak akan pernah terganggu. Hal ini ditulis dengan baik oleh Pernilla Ouis dalam sebuah bab ‘And an Island Never Cries’’: Cultural and Societal Perspectives on the Mega Development of Islands in the United Arab Emiratesyang menjadi bagian dari buku berjudul Macro-engineering Seawater in Unique Environments, Environmental Science and Engineering dan diterbitkan oleh Springer tahun 2011.
Dalam konteks lain, reklamasi bisa menciptakan ruang sosial dan geografis baru yang bisa ‘terpisah’ dari lingkungan lainnya, terlebih jika kawasan reklamasi ini diperuntukkan bagi kaum berpunya. Reklamasi, terutama jika kental dengan privatisasi dan eksklusivisme, bisa mencipatakan ‘dunia baru’ yang terpisah dengan ‘dunia nyata’ di sekitarnya sehingga jurang berbedaan bisa kian menganga. Disparitas ekonomi dan gaya hidup bisa semakin menegas dan bisa muncul kecemburuan di atara kelas-kelas masyarakat yang kian lebar perbedaanya. Dalam tulisannya yang berjudul man-made islands as anxious spaces, cultural icons, and travelling visions, di jurnal Environment and Planning tahun 2009, volume 41, Mark Jackson dan Veronica della Dora mengingatkan kita akan potensi ini.
Tulisan ini bisa bertambah panjang karena memang sangat banyak dampak reklamasi yang perlu mendapat perhatian serius. Intinya, perlu disadari bahwa reklamasi tidak selalu menghadirkan ruang baru dengan suasana dramatis seperti yang kita bayangkan atau lihat dari iklan-iklan pariwisata. Di balik itu telah mengintip berbagai bahaya yang jika tidak diantisipasi bisa menjadi serangan balik yang dasyat dan menghancurkan. Memang harus diakui, ada hal yang baik dari reklamasi tetapi di balik iming-iming kebaikan itu senantiasa ada potensi bahaya. Di balik kecantikan yang dijanjikannya, kita harus ingat bahwa reklamasi tidak selalu seksi.
PS. Sebagian isi tulisan ini telah terbit di Bali Post taggal 18 April 2O14.