Month: October 2024

Reimagining Borderless Education between Indonesia and China

Category : Maritime Boundaries

In April 2024, I embarked on a ten-day visit to China, covering three cities, two hi-tech companies, several government institutions, six academic institutions, various museums, and, of course, indulging in a lot of delicious food. It was my longest work visit to a single country in over a decade, and the experience left a lasting impression. This visit deepened my ongoing interest in transnational education, an area I’ve been reflecting on for years, particularly in the context of fostering mutual understanding across borders.
China is synonymous with technological advancement. My visits to companies like Envision and Huawei revealed more than just cutting-edge innovation. China is a country with bold visions and an unparalleled commitment to realizing them. The focus is not only on solving today’s problems but also on addressing issues that lie in the future.

Alongside its technological prowess, China takes the preservation of culture and heritage very seriously. The Terracotta Army, for example, is not merely a display of ancient craftsmanship but a testament to the pride China takes in its past. The preservation of these artefacts is about instilling the values of that greatness into younger generations, ensuring they carry forward the spirit of a nation poised to remain significant. This balance between innovation and tradition is something I found particularly fascinating.

This was not my first visit to China. My initial trip to Beijing was back in 1999. Since then, I’ve witnessed the country’s transformation into a modern society. While wealth can easily enable technological progress, societal transformation is a more profound achievement. Clean cities, law-abiding citizens, and an overall sense of order stand as clear indicators of this progress, reflecting a well-integrated approach to modernization.

Academically, I am deeply impressed by China’s educational openness. During our trip, we visited institutions such as Fudan University, the Shanghai Institute for International Studies, Xi’an Jiao Tong University, and Peking University. One notable feature is China’s growing interest in Indonesia, with dedicated Indonesian study centres where students actively learn Bahasa Indonesia. This represents a forward-thinking approach to strengthening future ties between the two nations.

I also had the opportunity to meet a number of Indonesian students studying in various universities in China. The Indonesian Student Association of China (PPI Tiongkok) is a strong organization, and I exchanged ideas with its activists. The increasing number of Indonesian students studying in China year after year, supported by various scholarships, is promising. Interestingly, tuition fees and living costs are not as expensive as I had imagined, and with scholarships, the financial burden is significantly eased.

One of the most effective ways to enhance this understanding is through educational exchanges. Currently, there is an imbalance: at Universitas Gadjah Mada, for instance, we welcomed over 40 Chinese students in 2023, yet only sent four Indonesian students to China. This disparity needs to be addressed, especially as our nations become more interdependent. The future of Indonesia-China collaboration in education lies in transnational education, where both countries mutually recognize each other’s educational systems. Such collaboration would allow students from both countries to experience each other’s education without barriers, fostering a deeper understanding of our cultures and systems.

Of course, the Indonesia-China relationship is not without its obstacles. The South China Sea tension is one issue that often puts the two countries in a challenging position. During my visit to China, this dispute was a topic I raised. Over the last two decades, I have studied this issue, and this visit allowed me to engage directly with Chinese scholars and hear their candid views. While it is too early to draw conclusions, I see potential for continued dialogue. Understanding each other’s positions is the first step in conflict resolution, and while the South China Sea issue is unlikely to be resolved any time soon, I left with a sense that goodwill and conversations will continue.

A difficult issue like the South China Sea dispute requires mutual understanding, and educational exchanges can play a crucial role. Indonesian students immersing themselves in Chinese day-to-day life will increase their chances of comprehending complex issues from multiple angles. The same applies to Chinese students studying in Indonesia. Through these exchanges, our students will gain not only academic knowledge but also the cultural sensitivity needed to navigate geopolitical tensions.

In the near future, I imagine a female student from Papua beginning her studies in Geodetic Engineering at Universitas Gadjah Mada (UGM) in Yogyakarta, and then moving to Peking University (PU) in Beijing in her second year to continue her education on geospatial-related field. This would be seamless, as PU and UGM would mutually recognize each other’s curriculum. While studying at PU, she could intern at a high-tech company in Beijing, gaining firsthand experience of technological advancements and Chinese work culture. She could then return to UGM to complete her degree in computer science. With her cross-cultural experiences and education, she would be an invaluable asset to a Chinese-Indonesian company in Sulawesi.

This scenario could just as easily apply to a Chinese student studying in both China and Indonesia. Starting their education in China and continuing it in Indonesia would no longer be an issue with mutual recognition. In the future, I envision that such exchanges will become the norm. With greater exchange of students, professors, and ideas, I am confident that Indonesia and China will not only strengthen their relationship but also play a crucial role in shaping a more harmonious regional future.

I Made Andi Arsana


Membangun Jembatan Pendidikan antara Indonesia dan Tiongkok

Category : Pendidikan Perbatasan

Pelantikan Presiden Indonesia segera tiba. Salah satu hal menarik adalah Prabowo yang memanggil seorang akademisi asal Indonesia yang saat ini menjadi pengajar di Universitas Tsinghua, Tiongkok, Professor Stella Christie. Sebelum ini terjadi, Prabowo juga diundang oleh Xi Jin Ping, Presiden Tiongkok, beberapa saat setelah terpilih. Meski mungkin tidak berhubungan, kedua hal ini memantik saya untuk membayangkan relasi Indonesia-Tiongkok di Era Prabowo.

Tidak lama setelah Prabowo betandang ke Tiongkok, saya juga berkesempatan berkunjung ke beberapa kota di Tiongkok. Masih teringat, saya ke Beijing pertama kali pada tahun 1999. Kini, Tiongkok bertransformasi menjadi negara modern. Kemajuan teknologi adalah tanda keberhasilan tetapi transformasi sosial menandakan pencapaian yang lebih serius. Kota yang bersih, warga yang disiplin, dan ketertiban umum adalah indikator kemajuan yang kasat mata dampaknya.

Secara akademik, keterbukaan pendidikan di Tiongkok mengesankan. Selama perjalanan, kami mengunjungi Fudan University, Shanghai Institute of International Studies, Xi’an Jiao Tong University, dan Peking University. Ternyata minat Tiongkok terhadap Indonesia cukup tinggi. Beberapa pusat studi Indonesia didirikan untuk pembelajaran Bahasa Indonesia. Menyenangkan menyimak anak-anak muda Tiongkok yang dapat berbahasa Indonesia dengan fasih. Ini penting untuk memperkuat hubungan kedua negara.

Saya juga bertemu dengan sejumlah mahasiswa Indonesia di Tiongkok. Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Tiongkok adalah organisasi yang cukup kuat, dan saya bertukar pikiran dengan aktivisnya. Banyak yang didukung oleh berbagai beasiswa yang disediakan oleh Pemerintah Tiongkok. Pendidikan internasional semacam ini menjadi salah satu cara yang paling efektif untuk meningkatkan pemahaman antarbangsa.

Sayangnya, saat ini terjadi ketidakseimbangan dalam hal pertukaran pelajar. Di Universitas Gadjah Mada (UGM), misalnya, ada lebih dari 40 mahasiswa Tiongkok pada tahun 2023, namun UGM hanya mengirim empat mahasiswa ke Tiongkok. Ketimpangan ini perlu segera diatasi, terutama karena kedua bangsa ini kian perlu untuk saling memahami. Kunci dari kolaborasi pendidikan Indonesia-Tiongkok adalah adanya pengakuan sistem pendidikan oleh kedua belah pihak. Kolaborasi semacam itu akan memungkinkan mahasiswa dari kedua negara untuk mengenyam pendidikan satu sama lain tanpa hambatan. Akhirnya, ini akan memperdalam pemahaman tentang budaya dan sistem hidup masing-masing.

Hubungan Indonesia-Tiongkok memang tidak lepas dari hambatan. Ketegangan di Laut China Selatan adalah salah satu masalah yang sering menempatkan kedua negara dalam posisi sulit. Selama dua dekade terakhir, saya telah mempelajari isu ini, dan kunjungan ini memungkinkan saya untuk berdialog langsung dengan para cendekiawan Tiongkok serta mendengar pandangan mereka secara terbuka tetang Laut China Selatan. Meski tidak mudah mencari titik temu, saya melihat adanya potensi untuk terus melanjutkan dialog. Memahami posisi satu sama lain adalah langkah pertama dalam penyelesaian konflik. Meskipun isu Laut China Selatan mungkin tidak akan terselesaikan dalam waktu dekat, saya berharap niat baik dan dialog akan terus berlanjut.

Isu yang rumit seperti sengketa Laut China Selatan memerlukan pemahaman timbal balik, dan pertukaran pendidikan dapat memainkan peran penting ini. Mahasiswa Indonesia yang mendalami kehidupan sehari-hari di Tiongkok akan lebih mampu memahami masalah-masalah kompleks dari berbagai sudut pandang. Demikian pula halnya dengan mahasiswa Tiongkok yang belajar di Indonesia. Melalui pertukaran ini, mahasiswa kita tidak hanya akan mendapatkan pengetahuan akademik, tetapi juga kepekaan budaya yang dibutuhkan untuk menavigasi ketegangan geopolitik.

Di masa depan, saya membayangkan seorang mahasiswi dari Papua memulai studinya di Teknik Geodesi di Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta. Pada tahun kedua dia melanjutkan ke Peking University (PU) di Beijing untuk belajar di bidang terkait geospasial. Proses ini akan mudah secara administratif karena PU dan UGM saling mengakui kurikulum masing-masing. Saat belajar di PU, ia mendapat kesempatan magang di perusahaan teknologi tinggi di Beijing, yang memberinya pengalaman langsung tentang kemajuan teknologi dan budaya kerja Tiongkok. Setelah itu, ia bisa kembali ke UGM atau kampus lainnya di Indonesia untuk menyelesaikan gelar dalam ilmu komputer. Dengan pengalaman lintas budaya dan pendidikannya, ia akan menjadi aset berharga bagi perusahaan Tiongkok-Indonesia yang beroperasi di Sulawesi.

Cerita di atas tentu juga bisa terjadi pada mahasiswa Tiongkok yang belajar di Indonesia melalui sistem pendidikan internasional. Memulai pendidikan di Tiongkok lalu melanjutkan serta menyelesaikannya di Indonesia akan menjadi keniscayaan. Pengakuan resiprokal antara kedua negara semestinya menjadi praktik umum di masa depan. Maka relasi dengan Tiongkok semestinya lebih dari sekedar kunjungan kepala negara atau memanggil professor untuk pulang mengabdi. Perlu dibangun jembatan pendidikan transnasional antar keduanya dengan tetap menjaga karakter masing-masing. Dengan jembatan ini, akan terjadi pertukaran pelajar, pengajar, serta gagasan. Maka Indonesia dan Tiongkok tidak saja akan merevitalisasi hubungan mereka tetapi juga menguatkan peran mereka untuk mewujudkan kawasan yang harmonis.

I Made Andi Arsana
Dosen Teknik Geodesi dan Ketua Program Studi Magister Teknik Geomatika, Fakultas Teknik, UGM


Menggugat Ekspor Pasir Laut

Category : Maritime Boundaries

Tahun 2023 lalu, isu pasir laut sempat menghebohkan. Pasalnya, Presiden Jokowi membuka kembali izin ekspor pasir laut yang selama 20 tahun sebelumnya sempat dilarang. Kebijakan itu dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2023 (PP 26/2023) yang dengan segera mengundang kontroversi. Tahun ini, isu yang sama kembali mengemuka.

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 dan 21 tahun 2024 (Permendag 20/2024 dan Permendag 21/2024) menindaklanjuti PP 26/2023 dan menegaskan soal ekspor pasir ini. Kegaduhan terjadi lagi. Berbagai pandangan dan spekulasi bermunculan. Dikeluarkannya kebijakan ini di ujung pemerintahan Presiden Jokowi juga menimbulkan kecurigaan.

Meskipun isu yang beredar adalah perihal ekspor pasir laut, sebenarnya PP 26/2023 mengatur hal yang lebih luas. Nama resmi PPnya adalah Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Tujuan idealnya adalah memastikan dasar laut di kawasan tertentu terbebas dari pendangkalan akibat adanya pengendapan (sedimentasi). Secara teknis, pemantauan sedimentasi ini melibatkan survei batimetri atau pemetaan dasar laut yang melibatkan keahlian geodesi, hidrografi, dan oseanografi. PP 26/2023 juga cukup komprehensif mengatur tahap perencanaan, pengendalian, pemanfaatan, dan pengawasan. Idealnya, pengaturan langkah yang komprehensif ini untuk meminimalisir dampak buruk.

Respon keras terhadap kebijakan pemerintah ini berawal dari pasal 9 PP 26/2023 yang mengatakan bahwa hasil sedimentasi di laut bisa diekspor. Secara lengkap, pemanfaatannya ada empat yaitu a) reklamasi dalam negeri, b) pembangunan infrastruktur pemerintah, c) pembangunan prasarana oleh pelaku usaha; dan/atau d) ekspor. Ditegaskan bahwa pasir bisa diekspor “sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Secara normatif, ekspor pasir laut hanyalah Sebagian kecil dari PP 26/2023 ini. Meski demikian, bagian ini yang mengundang reaksi paling keras. Ada empat perihal yang menjadi penyebabnya yaitu isu lingkungan, batas maritim, aspek bisnis, serta konsistensi legal.

Isu lingkungan menjadi sorotan tajam karena pengerukan sedimentasi di laut jelas akan berpengaruh pada lingkungan pantai. Secara ideal menurut PP 26/2023, pengerukan sedimen ini dimaksudkan untuk menjaga lingkungan dasar laut dan pantai agar tetap kondusif. Meski demikian, jika dilakukan secara berlebihan dan melebihi daya dukung lingkungan justru akan merusak lingkungan. Banyak yang khawatir, pengerukan yang akan dilakukan tidak benar-benar untuk kepentingan pengelolaan sedimentasi berlebih tetapi memang untuk kepentingan eksploitasi. Jika ini terjadi, akan berdampak langsung pada kawasan pesisir karena dapat meningkatkan abrasi.

Isu kedua terkait dengan batas maritim. Diduga kuat bahwa negara tujuan utama ekspor pasir laut ini adalah Singapura seperti yang juga terjadi 20 tahun lalu. Singapura menjadi lebih luas secara signifikan karena proses reklamasi menggunakan pasir yang dibeli dari Indonesia. Perubahan luas daratan Singapura ini menyebabkan perubahan garis pantai dan ini dikhawatirkan akan menggeser batas maritim antara Singapura dan Indonesia ke arah Indonesia.

Kekhawatiran soal batas maritim ini tidak beralasan. Pasalnya, batas maritim antara Singapura dan Indonesia sudah ditetapkan tahun 1973, 2009, dan 2014 dan batas maritim yang sudah ditetapkan itu tidak akan berubah karena adanya perubahan garis pantai salah satu pihak. Hal ini sesuai dengan Pasal 62 ayat 2.A.a Konvensi Wina 1969. Analoginya, seperti kondisi dua rumah yang saling bertetangga. Salah satu rumah yang membesar karena renovasi, tidak akan menggeser posisi pagar pekarangan yang sudah ditetapkan.

Isu ketiga terkait aspek bisnis. Banyak yang menduga bahwa dikeluarkannya kebijakan ini memang ditujukan untuk membuka keran ekspor pasir laut agar pebisnis tertentu bisa meraup keuntungan. Menurut pandangan ini, narasi pengelolaan sedimentasi di laut hanyalah kedok belaka. Tidak sedikit analisis yang menunjukkan adanya berbagai kepentingan bisnis yang terkait erat dengan kebijakan ini. Berbagai analisis juga menunjukkan kedekatan beberapa pengusaha yang diduga akan menjadi pemain utama ekspor pasir ini dengan penguasa. Apakah ini benar? Tentu banyak hal yang harus diteliti dengan sangat serius.

Isu keempat terkait dengan konsistensi legal. Pada tahun 2003, Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI mengeluarkan Keputusan Menteri nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Penghentian itu akan ditinjau kembali jika penetapan batas antara Indonesia dan Singapura sudah tuntas (pasal 2 ayat 2). Batas maritim Indonesia-Sigapura memang sudah ditetapkan namun di ujung barat dan timur segmen batas perlu ditetapkan titik temu tiga (three junction point) yang melibatkan Indonesia, Singapura dan Malaysia.

Selain itu, ada Pedra Branca, sebuah pulau milik Singapura yang berpotensi memerlukan batas maritim dengan Indonesia di sisi timur Singapura. Sampai saat ini, batas tersebut belum ditetapkan. Dilihat dari dua hal ini, bisa dikatakan bahwa batas maritim Indonesia dan Singapura belum sepenuhnya tuntas. Maknanya, pembukaan izin ekspor pasir ini tidak memenuhi kaidah hukum karena bertentangan dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 117/MPP/Kep/2/2003.

Sebagai catatan penutup, isu ini sesungguhnya lebih besar dari sekedar ekspor pasir. Ini adalah tentang pengelolaan sedimentasi di laut. Oleh karena itu, memahami isu ini harus didahului dengan mehamai isu besarnya. Meski demikian, kita juga sadar bahwa kemungkinan penyimpangan dan agenda tersembunyi dari sebuah kebijakan memang selalu ada. Oleh karena itu, semua pihak terkait harus memahami lalu mengawal dengan ketat. Mari!

I Made Andi Arsana