Day: October 8, 2024

Menggugat Ekspor Pasir Laut

Category : Maritime Boundaries

Tahun 2023 lalu, isu pasir laut sempat menghebohkan. Pasalnya, Presiden Jokowi membuka kembali izin ekspor pasir laut yang selama 20 tahun sebelumnya sempat dilarang. Kebijakan itu dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2023 (PP 26/2023) yang dengan segera mengundang kontroversi. Tahun ini, isu yang sama kembali mengemuka.

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 dan 21 tahun 2024 (Permendag 20/2024 dan Permendag 21/2024) menindaklanjuti PP 26/2023 dan menegaskan soal ekspor pasir ini. Kegaduhan terjadi lagi. Berbagai pandangan dan spekulasi bermunculan. Dikeluarkannya kebijakan ini di ujung pemerintahan Presiden Jokowi juga menimbulkan kecurigaan.

Meskipun isu yang beredar adalah perihal ekspor pasir laut, sebenarnya PP 26/2023 mengatur hal yang lebih luas. Nama resmi PPnya adalah Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Tujuan idealnya adalah memastikan dasar laut di kawasan tertentu terbebas dari pendangkalan akibat adanya pengendapan (sedimentasi). Secara teknis, pemantauan sedimentasi ini melibatkan survei batimetri atau pemetaan dasar laut yang melibatkan keahlian geodesi, hidrografi, dan oseanografi. PP 26/2023 juga cukup komprehensif mengatur tahap perencanaan, pengendalian, pemanfaatan, dan pengawasan. Idealnya, pengaturan langkah yang komprehensif ini untuk meminimalisir dampak buruk.

Respon keras terhadap kebijakan pemerintah ini berawal dari pasal 9 PP 26/2023 yang mengatakan bahwa hasil sedimentasi di laut bisa diekspor. Secara lengkap, pemanfaatannya ada empat yaitu a) reklamasi dalam negeri, b) pembangunan infrastruktur pemerintah, c) pembangunan prasarana oleh pelaku usaha; dan/atau d) ekspor. Ditegaskan bahwa pasir bisa diekspor “sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Secara normatif, ekspor pasir laut hanyalah Sebagian kecil dari PP 26/2023 ini. Meski demikian, bagian ini yang mengundang reaksi paling keras. Ada empat perihal yang menjadi penyebabnya yaitu isu lingkungan, batas maritim, aspek bisnis, serta konsistensi legal.

Isu lingkungan menjadi sorotan tajam karena pengerukan sedimentasi di laut jelas akan berpengaruh pada lingkungan pantai. Secara ideal menurut PP 26/2023, pengerukan sedimen ini dimaksudkan untuk menjaga lingkungan dasar laut dan pantai agar tetap kondusif. Meski demikian, jika dilakukan secara berlebihan dan melebihi daya dukung lingkungan justru akan merusak lingkungan. Banyak yang khawatir, pengerukan yang akan dilakukan tidak benar-benar untuk kepentingan pengelolaan sedimentasi berlebih tetapi memang untuk kepentingan eksploitasi. Jika ini terjadi, akan berdampak langsung pada kawasan pesisir karena dapat meningkatkan abrasi.

Isu kedua terkait dengan batas maritim. Diduga kuat bahwa negara tujuan utama ekspor pasir laut ini adalah Singapura seperti yang juga terjadi 20 tahun lalu. Singapura menjadi lebih luas secara signifikan karena proses reklamasi menggunakan pasir yang dibeli dari Indonesia. Perubahan luas daratan Singapura ini menyebabkan perubahan garis pantai dan ini dikhawatirkan akan menggeser batas maritim antara Singapura dan Indonesia ke arah Indonesia.

Kekhawatiran soal batas maritim ini tidak beralasan. Pasalnya, batas maritim antara Singapura dan Indonesia sudah ditetapkan tahun 1973, 2009, dan 2014 dan batas maritim yang sudah ditetapkan itu tidak akan berubah karena adanya perubahan garis pantai salah satu pihak. Hal ini sesuai dengan Pasal 62 ayat 2.A.a Konvensi Wina 1969. Analoginya, seperti kondisi dua rumah yang saling bertetangga. Salah satu rumah yang membesar karena renovasi, tidak akan menggeser posisi pagar pekarangan yang sudah ditetapkan.

Isu ketiga terkait aspek bisnis. Banyak yang menduga bahwa dikeluarkannya kebijakan ini memang ditujukan untuk membuka keran ekspor pasir laut agar pebisnis tertentu bisa meraup keuntungan. Menurut pandangan ini, narasi pengelolaan sedimentasi di laut hanyalah kedok belaka. Tidak sedikit analisis yang menunjukkan adanya berbagai kepentingan bisnis yang terkait erat dengan kebijakan ini. Berbagai analisis juga menunjukkan kedekatan beberapa pengusaha yang diduga akan menjadi pemain utama ekspor pasir ini dengan penguasa. Apakah ini benar? Tentu banyak hal yang harus diteliti dengan sangat serius.

Isu keempat terkait dengan konsistensi legal. Pada tahun 2003, Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI mengeluarkan Keputusan Menteri nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Penghentian itu akan ditinjau kembali jika penetapan batas antara Indonesia dan Singapura sudah tuntas (pasal 2 ayat 2). Batas maritim Indonesia-Sigapura memang sudah ditetapkan namun di ujung barat dan timur segmen batas perlu ditetapkan titik temu tiga (three junction point) yang melibatkan Indonesia, Singapura dan Malaysia.

Selain itu, ada Pedra Branca, sebuah pulau milik Singapura yang berpotensi memerlukan batas maritim dengan Indonesia di sisi timur Singapura. Sampai saat ini, batas tersebut belum ditetapkan. Dilihat dari dua hal ini, bisa dikatakan bahwa batas maritim Indonesia dan Singapura belum sepenuhnya tuntas. Maknanya, pembukaan izin ekspor pasir ini tidak memenuhi kaidah hukum karena bertentangan dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 117/MPP/Kep/2/2003.

Sebagai catatan penutup, isu ini sesungguhnya lebih besar dari sekedar ekspor pasir. Ini adalah tentang pengelolaan sedimentasi di laut. Oleh karena itu, memahami isu ini harus didahului dengan mehamai isu besarnya. Meski demikian, kita juga sadar bahwa kemungkinan penyimpangan dan agenda tersembunyi dari sebuah kebijakan memang selalu ada. Oleh karena itu, semua pihak terkait harus memahami lalu mengawal dengan ketat. Mari!

I Made Andi Arsana