Apakah Indonesia akan kehilangan pulau?
Category : Blog
Perhatian masyarakat Indonesia terhadap kedaulatan, wilayah, batas maritim, pulau hingga Laut China Selatan meningkat belakangan ini karena tema-tema itu diangkat dalam debat capres 22 Juni 2014. Ini adalah tulisan saya yang sudah cukup lama umurnya dan pernah terbit di PuzzleMinds tetapi rasanya masih relevan untuk ditayangkan lagi. Selain itu, ada beberapa pertanyaan seputar isu ini yang masuk lewat FB, Twitter maupun email sehingga perlu rasanya mengisahkan lagi pemahaman saya terhadap topik hangat ini.
Saya akan mulai dari sebuah isu yang terjadi tahun 2013 silam. Perhatian para pengamat persoalan kedaulatan dan hubungan internasional sempat tersedot ketika itu oleh isu Pulau Semakau yang katanya diklaim oleh Singapura. Singapura, menurut Okezone (19 Januari 2013), telah memasukkan Pulau Semakau ke dalam peta nasionalnya. Gubernur Kepulauan Riau, HM Sani menganggap ini sebagai usaha Singapura untuk mengklaim Pulau Semakau. Sang gubernur bahkan mengirimkan surat ke Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa, untuk meminta klarifikasi dan tindak lanjut. Rupanya, Gubernur Sani, meyakini bahwa Pulau Semakau yang dimasukkan ke dalam peta Singapura itu adalah milik Indonesia dan kini diklaim oleh Singapura. Kini isu itu telah diselesaikan dengan klarifikasi bahwa pulau yang dimaksud sesungguhnya adalah Pulau Semakau miliki Singapura. Ternyata memang ada lebih dari satu pulau bernama Semakau dan salah satunya memang merupakan wilayah Singapura.
Klarifikasi terkait Pulau Semakau ini sudah dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri dan pihak DPR. Ramadhan Pohan, wakil ketua DPR, bahkan menyampaikan klarifikasi dilengkapi data rinci yang bersifat teknis bersumber dari Indonesia dan Singapura (JPPN.com, 22 Januari 2013). Rupanya telah terjadi kesalahpahaman karena ada beberapa pulau dengan nama sama di perairan sekitar Selat Singapura. Indonesia memang memiliki pulau bernama Semakau Panjang (di Google Maps disebut dengan Semakau Besar) dan Semakau Kecil (di Google Maps disebut dengan Semakau Baru) sedangkan Singapura sendiri memiliki pulau bernama Semakau. Yang dimasukkan ke dalam peta Singapura adalah Pulau Semakau yang memang menjadi bagian dari wilayah Singapura. Pelajaran penting dari kasus ini adalah bahwa Indonesia, Malaysia dan Singapura memang bangsa yang mirip bahasanya sehingga penamaan pulau juga bisa mirip atau bahkan sama. Gambar 1 berikut mengilustrasikan lokasi ketiga Pulau Semakau milik Indonesia maupun Singapura.
Kasus Pulau Semakau ini mengingatkan kisah serupa di tahun 2005 ketika beberapa pihak di Indonesia menuduh Malaysia mengklaim Pulau Berhala yang dipromosikan sebagai daerah tujuan wisata. Beberapa pihak yang yakin bahwa Indonesia memiliki Pulau Berhala merasa Malaysia telah melakukan klaim sepihak atas pulau yang jelas-jelas menjadi bagian dari kedaulatan Indonesia. Ternyata, memang ada lebih dari satu Pulau Berhala dan salah satunya memang milik Malaysia. Yang dipromosikan oleh Malaysia ketika itu adalah Pulau Berhala miliknya sebagai tujuan wisata. Kasus demikian tentu harus menjadi pelajaran penting bagi siapa saja. Gambar 2 berikut mengilustrasikan setidaknya tiga pulau yang bernama sama: Berhala.
Kasus tentang Berhala maupun Semakau kini sudah tuntas tetapi sangat penting untuk menarik pelajaran dari keduanya agar kesalahan yang sama sedapat mungkin bisa dihindari. Pertanyaan paling penting untuk dijawab adalah “apakah benar Indonesia bisa kehilangan pulau?” Sebagian lain mungkin mengajukan pertanyaan yang sedikit berbeda “benarkan Indonesia akan kehilangan pulau lagi?” pertanyaan lain adalah “benarkan kasus Sipadan dan Ligitan yang dimenangkan Malaysia atas Indonesia bisa terjadi pada pulau-pulau lain di Indonesia?” Mari kita simak.
Hal pertama dan utama adalah pemahaman yang cukup baik akan konfigurasi geografis bangsa sendiri. Penduduk dan terutama pejabat negara sebaiknya paham akan informasi geografis dasar Indonesia. Tentu memerlukan usaha yang tidak sederhana untuk memahami Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau (Dirjen KP3K Kementerian Kelautan dan Perikanan mengatakan 17.504 pulau, ada juga sumber lain yang mengatakan lebih dari 13 ribu), beragam suku bangsa dan bahasa. Selain itu, informasi geografis negara tetangga juga perlu dipahami. Dalam kasus Pulau Semakau dan Pulau Berhala misalnya, terlihat betapa pentingnya kita memahami bahwa negara tetangga juga memiliki pulau dengan nama yang sama dengan pulau yang dimiliki Indonesia. Tentu tidak elok disimak jika kita menjadi geram dan emosional menuduh negara tetangga melakukan tindakan tidak terpuji hanya gara-gara pemahaman geografis terhadap pulau-pulau sangat rendah. Ini harus menjadi motivasi untuk belajar aspek geospasial dari bangsa sendiri dan negara tetangga.
Kedua, perlu dipahami bahwa kedaulatan atas sebuah pulau yang sudah pasti menjadi bagian wilayah suatu negara tidak akan dengan mudah berpindah ke negara lain hanya karena negara lain mengklaimnya. Dengan kata lain, kedaulatan atas pulau yang sudah resmi menjadi milik Indonesia tidak akan berpindah dengan mudah ke negara tetangga, misalnya Singapura, hanya karena Singapura mengajukan klaim kepemilikan. Hal ini berbeda halnya dengan pulau yang memang belum jelas kepemilikannya. Pulau demikian disebut terra nullius yaitu pulau tidak bertuan sehingga usaha klaim aktif dan pendudukan efektif akan berpengaruh pada kepemilikan terhadapnya.
Orang sering menyebut-nyebut kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ketika terjadi kasus sengketa klaim atas pulau di Indonesia. Perlu dipahami, kasus Sipadan dan Ligitan berbeda konteksnya dengan kasus yang terjadi belakangan. Sipadan dan Ligitan adalah dua pulau yang terra nullius ketika disengketakan oleh Indonesia dan Malaysia. Dalam hukum internasional, dipercaya suatu konsep yang disebut uti posidetis juris, yang artinya wilayah dan batas wilayah suatu negara mengikuti wilayah dan batas wilayah penjajahnya. Maknanya, jika Sipadan atau Ligitan masuk dalam jajahan Inggris maka dia secara resmi akan menjadi milik Malaysia. Jika keduanya merupakan wilayah jajahan Belanda maka akan secara otomatis menjadi bagian dari Indonesia. Ternyata, setelah ditelusuri, Inggris maupun Belanda tidak pernah secara tegas/resmi memasukkan keduanya dalam wilayah jajahan mereka. Ini bisa dilihat dari peta-peta zaman penjajahan. Oleh karena itulah, kedua pulau itu tidak bisa secara otomatis diakui oleh Indonesia maupun Malaysia.
Sebagai dua negara terdekat dengan Sipadan dan Ligitan, Indonesia dan Malaysia sama-sama mengajukan klaim atas pulau tidak bertuan itu. Keduanya mengajukan argumen sendiri untuk menujukkan bahwa merekalah yang berhak memiliki pulau tersebut. Sayang sekali, perundingan tidak berhasil hingga akhirnya proses dihentikan tahun 1969.
Keduanya bersepakat bahwa kasus dihentikan dan apapun yang terjadi sejak tahun 1969 tidak akan berpengaruh pada kedaulatan/kepemilikan atas keduanya. Akhirnya kasus itu dibawa ke Mahkamah Internasional dan Mahkamah menyatakan bahwa Malaysialah yang berhak atas kedua pulau itu (tahun 2002). Alasannya menggunakan prinsip effectivités atau penguasaan efektif. Bahwa terbukti Inggris dan Malaysia telah melakukan penguasaan efektif terhadap Sipadan dan Ligitan dengan mendirikan mercusuar, memberlakukan aturan pemanfaatan telur penyu dan perlindungan satwa di kawasan pulau tersebut. Sementara itu, Belanda dan Indonesia tidak melakukan hal serupa.
Perlu juga diingat bahwa penguasaan efektif yang diperhitungkan Mahkamah adalah yang terjadi sebelum tahun 1969 seperti yang disepakati kedua negara. Jadi, tidak benar seperti yang diberitakan beberapa media bahwa Malaysia memenangkan kasus itu karena telah mendirikan resor atau mengelola pariwisata di pulau itu karena semua kegiatan itu terjadi setelah tahun 1969. Dalam kelakar seorang pejabat negara yang menjelaskan kasus ini dengan cerdas, Indonesia tidak kehilangan pulau, hanya saja memang gagal menambah dua pulau. Penjelasan tentang kasus Sipadan dan Ligitan ini bisa disimak dengan rinci pada putusan Mahkamah Internasional di http://www.icj-cij.org/docket/files/102/7714.pdf. Diskusi yang serius tentang Sipadan dan Ligitan sebaiknya dilakukan setelah membaca dokumen ini karena dokumen inilah yang secara resmi diacu dan memiliki kekuatan hukum yang final dan mengikat. Tanpa membaca ini, kita akan diombang-ambingkan oleh media yang memang selalu memiliki kepentingan. Betul, kepada tulisan saya inipun Anda tidak boleh percaya begitu saja. Silakan lakukan pencarian dengan membaca sumber-sumber lain yang lebih sahih.
Pelajaran penting dari kasus Sipadan dan Ligitan adalah bahwa untuk pulau yang belum jelas kepemilikannya maka klaim dan penguasaan efektif memang penting dilakukan dan itu menentukan kedaulatan. Meski demikian, hal ini tidak berlaku pada pulau yang sudah jelas kepemilikannya. Hal ini memberikan pelajaran ketiga dalam tulisan ini bahwa penguasaan atau perhatian terhadap sebuah pulau terluar perlu dilakukan untuk alasan kesejahteraan penduduk di sekitar atau untuk alasan kelestarian lingkungan, bukan untuk melindungi pulau itu agar tidak direbut negara lain. Hukum internasional tidak membenarkan suatu negara mengklaim kedaulatan atas suatu pulau yang sudah resmi menjadi milik suatu negara. Bagaimana jika ada negara yang ‘gila’ dan tiba tiba datang lalu merebut pulau yang sudah sah jadi kita? Ya, tentu saja ini cerita lain dan kita akan pertahankan sampai titik darah penghabisan.
Sekali lagi kehadiran negara di pulau-pulau kecil atau terluar sangatlah penting dalam segala manifestasi yang mungkin. Hal ini berhubungan dengan persoalan yang lebih pragmatis terkait kesejahteraan masyarakat. Kehadiran negara perlu untuk menjamin masyarakat secara ekonomi, menyediakan fasilitas kesehatan serta infrastruktur yang memadai. Mengirimkan sejumlah besar orang dari ibukota untuk melakukan upacara bendera di sebuah pulau terpencil bisa jadi merupakan gagasan yang baik tetapi kita tentu tidak boleh lupa bahwa masyarakat memerlukan lebih dari sekedar keceriaan dan kebanggan sesaat di hari kemerdekaan. Pada akhirnya kesetiaan masyarakat terhadap negaranya ditentukan juga oleh manfaat pragmatis yang mereka peroleh.
Keempat, sangat penting untuk memiliki pemahaman dasar kartografis, bagaimana peta menggambarkan wilayah dan kedaulatan suatu negara. Pemilihan warna, intensitas, ketebalan garis dan terutama legenda peta akan menunjukkan pada pembaca maksud dari masing-masing obyek di peta tersebut. Penting untuk dipahami bahwa dimasukkannya suatu pulau milik negara A pada peta nasional negara B tidak selalu berarti pulau itu diklaim oleh negara B. Dalam peta Indonesia yang lengkap, misalnya, tidak mungkin tidak memasukkan keseluruhan Singapura atau sebagian Malaysia. Meski demikian, masukkan wilayah Singapura atau Malaysia di peta nasional Indonesia sama sekali tidak menunjukkan klaim Indonesia atas kedua negara itu.
Kembali ke pertanyaan semula, “apakah kita akan kehilangan pulau?” Jawabannya adalah “tidak.” Indonesia tidak akan kehilangan pulau karena direbut oleh negara lain karena kedaulatan kita atas semua pulau di Indonesia tidak terbantahkan dan tidak dalam status sengketa. Meski demikian, perhatian dan kehadiran negara di semua wilayah Indonesia tanpa kecuali tetaplah suatu keharusan. Semua itu dilakukan untuk alasan pragmatis terkait kesejahteraan dan alasan lingkungan, bukan karena ketakutan bahwa pulau itu akan direbut oleh negara lain. Kita bangsa besar, bukan bangsa rendah diri yang gemetar hanya gara-gara ada negara lain yang mendekat dan berperilaku mengancam. Kita hadapi mereka dengan senyum bangsa besar yang percaya diri dan wibawa yang membuat segan.
PS. Jika Anda bertanya tentang kemungkinan Indonesia akan kehilangan pulau karena tenggelamnya pulau akibat kenaikan permukaan air laut, silakan baca tulisan https://madeandi.com/2014/01/22/indonesia-kehilangan-4000-pulau/.