Membangun Jembatan Pendidikan antara Indonesia dan Tiongkok
Category : Pendidikan Perbatasan
Pelantikan Presiden Indonesia segera tiba. Salah satu hal menarik adalah Prabowo yang memanggil seorang akademisi asal Indonesia yang saat ini menjadi pengajar di Universitas Tsinghua, Tiongkok, Professor Stella Christie. Sebelum ini terjadi, Prabowo juga diundang oleh Xi Jin Ping, Presiden Tiongkok, beberapa saat setelah terpilih. Meski mungkin tidak berhubungan, kedua hal ini memantik saya untuk membayangkan relasi Indonesia-Tiongkok di Era Prabowo.
Tidak lama setelah Prabowo betandang ke Tiongkok, saya juga berkesempatan berkunjung ke beberapa kota di Tiongkok. Masih teringat, saya ke Beijing pertama kali pada tahun 1999. Kini, Tiongkok bertransformasi menjadi negara modern. Kemajuan teknologi adalah tanda keberhasilan tetapi transformasi sosial menandakan pencapaian yang lebih serius. Kota yang bersih, warga yang disiplin, dan ketertiban umum adalah indikator kemajuan yang kasat mata dampaknya.
Secara akademik, keterbukaan pendidikan di Tiongkok mengesankan. Selama perjalanan, kami mengunjungi Fudan University, Shanghai Institute of International Studies, Xi’an Jiao Tong University, dan Peking University. Ternyata minat Tiongkok terhadap Indonesia cukup tinggi. Beberapa pusat studi Indonesia didirikan untuk pembelajaran Bahasa Indonesia. Menyenangkan menyimak anak-anak muda Tiongkok yang dapat berbahasa Indonesia dengan fasih. Ini penting untuk memperkuat hubungan kedua negara.
Saya juga bertemu dengan sejumlah mahasiswa Indonesia di Tiongkok. Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Tiongkok adalah organisasi yang cukup kuat, dan saya bertukar pikiran dengan aktivisnya. Banyak yang didukung oleh berbagai beasiswa yang disediakan oleh Pemerintah Tiongkok. Pendidikan internasional semacam ini menjadi salah satu cara yang paling efektif untuk meningkatkan pemahaman antarbangsa.
Sayangnya, saat ini terjadi ketidakseimbangan dalam hal pertukaran pelajar. Di Universitas Gadjah Mada (UGM), misalnya, ada lebih dari 40 mahasiswa Tiongkok pada tahun 2023, namun UGM hanya mengirim empat mahasiswa ke Tiongkok. Ketimpangan ini perlu segera diatasi, terutama karena kedua bangsa ini kian perlu untuk saling memahami. Kunci dari kolaborasi pendidikan Indonesia-Tiongkok adalah adanya pengakuan sistem pendidikan oleh kedua belah pihak. Kolaborasi semacam itu akan memungkinkan mahasiswa dari kedua negara untuk mengenyam pendidikan satu sama lain tanpa hambatan. Akhirnya, ini akan memperdalam pemahaman tentang budaya dan sistem hidup masing-masing.
Hubungan Indonesia-Tiongkok memang tidak lepas dari hambatan. Ketegangan di Laut China Selatan adalah salah satu masalah yang sering menempatkan kedua negara dalam posisi sulit. Selama dua dekade terakhir, saya telah mempelajari isu ini, dan kunjungan ini memungkinkan saya untuk berdialog langsung dengan para cendekiawan Tiongkok serta mendengar pandangan mereka secara terbuka tetang Laut China Selatan. Meski tidak mudah mencari titik temu, saya melihat adanya potensi untuk terus melanjutkan dialog. Memahami posisi satu sama lain adalah langkah pertama dalam penyelesaian konflik. Meskipun isu Laut China Selatan mungkin tidak akan terselesaikan dalam waktu dekat, saya berharap niat baik dan dialog akan terus berlanjut.
Isu yang rumit seperti sengketa Laut China Selatan memerlukan pemahaman timbal balik, dan pertukaran pendidikan dapat memainkan peran penting ini. Mahasiswa Indonesia yang mendalami kehidupan sehari-hari di Tiongkok akan lebih mampu memahami masalah-masalah kompleks dari berbagai sudut pandang. Demikian pula halnya dengan mahasiswa Tiongkok yang belajar di Indonesia. Melalui pertukaran ini, mahasiswa kita tidak hanya akan mendapatkan pengetahuan akademik, tetapi juga kepekaan budaya yang dibutuhkan untuk menavigasi ketegangan geopolitik.
Di masa depan, saya membayangkan seorang mahasiswi dari Papua memulai studinya di Teknik Geodesi di Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta. Pada tahun kedua dia melanjutkan ke Peking University (PU) di Beijing untuk belajar di bidang terkait geospasial. Proses ini akan mudah secara administratif karena PU dan UGM saling mengakui kurikulum masing-masing. Saat belajar di PU, ia mendapat kesempatan magang di perusahaan teknologi tinggi di Beijing, yang memberinya pengalaman langsung tentang kemajuan teknologi dan budaya kerja Tiongkok. Setelah itu, ia bisa kembali ke UGM atau kampus lainnya di Indonesia untuk menyelesaikan gelar dalam ilmu komputer. Dengan pengalaman lintas budaya dan pendidikannya, ia akan menjadi aset berharga bagi perusahaan Tiongkok-Indonesia yang beroperasi di Sulawesi.
Cerita di atas tentu juga bisa terjadi pada mahasiswa Tiongkok yang belajar di Indonesia melalui sistem pendidikan internasional. Memulai pendidikan di Tiongkok lalu melanjutkan serta menyelesaikannya di Indonesia akan menjadi keniscayaan. Pengakuan resiprokal antara kedua negara semestinya menjadi praktik umum di masa depan. Maka relasi dengan Tiongkok semestinya lebih dari sekedar kunjungan kepala negara atau memanggil professor untuk pulang mengabdi. Perlu dibangun jembatan pendidikan transnasional antar keduanya dengan tetap menjaga karakter masing-masing. Dengan jembatan ini, akan terjadi pertukaran pelajar, pengajar, serta gagasan. Maka Indonesia dan Tiongkok tidak saja akan merevitalisasi hubungan mereka tetapi juga menguatkan peran mereka untuk mewujudkan kawasan yang harmonis.
I Made Andi Arsana
Dosen Teknik Geodesi dan Ketua Program Studi Magister Teknik Geomatika, Fakultas Teknik, UGM