Menyingkap Misteri Laut Tiongkok Selatan
Category : Blog Maritime Boundaries
Pengantar
Merespon gonjang-ganjing di Laut Tiongkok Selatan (LTS), terutama terkait penangkapan ikan oleh nelayan Tiongkok di perairan dekat Kepulauan Natuna, Presiden Joko Widodo (Jokowi) hadir di Natuna. Beliau dengan yakin memimpin rapat terbatas di kapal perang Imam Bonjol. Banyak spekulasi bermunculan soal ini tetapi pesan yang beliau kirim sangat jelas. Kedaulatan dan hak berdaulat NKRI adalah perkara serius, perkara nomor satu. Lepas dari dukungan saya terhadap langkah presiden itu, saya rasa masih sangat banyak yang perlu kita pahami soal silang sengkarut LTS. Tulisan ini adalah kontribusi kecil, bukan untuk menyelesaikan keruwetan itu tetapi sekedar mengurai semoga menghadirkan pemahaman yang lebih jernih.
Sebuah kapal nelayan milik Tiongkok, Hwai Fey, ditengarai memasuki kawasan Laut Tiongkok Selatan (LTS) di dekat Kepulauan Natuna dan melakukan penangkapan ikan pada tanggal 19 Maret 2016. Kapal tersebut coba ditangkap oleh petugas Indonesia karena posisi kapal itu diyakini berada di perairan Indonesia, dalam hal ini di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Insiden ini bukan yang pertama, bukan juga yang terakhir karena sebelumnya telah ada berbagai insiden serupa. Pada bulan Mei dan Juni 2016 insiden serupa terjadi lagi dan nampaknya akan terjadi lagi dan lagi.
Menariknya, kapal nelayan Tiongkok itu kemudian ‘diselamatkan’ oleh kapal lain milik Tiongkok yang seakan berlaku sebagai ‘pengawal’. Ditegaskan oleh ‘pengawal’ itu bahwa kapal nelayan tersebut tidak memasuki perairan Indonesia dan mereka beraktivitas di perairan Tiongkok. Dalam penyataan resmi oleh pejabat Tiongkok, konon kapal nelayan tersebut diyakini beraktivitas di tempat penangkapan ikan tradisional alias traditional fishing ground Tiongkok. Singkat cerita, Indonesia yakin kapal itu memasuki perairan Indonesia, Tiongkok juga yakin bahwa kapal itu masih berada di perairan Tiongkok. Gambar 1 berikut menunjukkan lokasi LTS yang dicuplik dari Peta NKRI 2015.
Klaim dan Batas Maritim di LTS
Dewasa ini, klaim atas kawasan maritim diatur oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut alias United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Indonesia dan Tiongkok sama-sama telah mengakui/meratifikasi UNCLOS dalam hukum domestik mereka. Artinya kedua negara telah mengakui ketentuan hukum yang ada di UNCLOS dan selayaknya menerapkan aturan tersebut dengan konsekuan.
Menurut UNCLOS, negara pantai seperti Indonesia dan Tiongkok berhak atas kawasan laut yang lebarnya diukur dari garis pangkal (umumnya garis pantai). Kawasan laut itu meliputi laut territorial (12 mil laut), zona tambahan (24 mil laut), ZEE (200 mil laut) dan Landas Kontinen alias dasar laut yang lebarnya bisa lebih dari 200 mil laut.
Indonesia memiliki hak maritim di LTS yang diukur dari pulau paling utara Kepulauan Natuna. Meskipun punya hak, perlu diingat bahwa di sekitar kawasan itu juga ada negara lain dengan hak yang sama, yaitu Malaysia dan Veitnam. Masing-masing tentu memiliki usulan sendiri-sendiri sesuai dengan hak mereka menurut UNCLOS. Seperti Indonesia, Malaysia dan Vietnam juga telah mengakui/meratifikasi UNCLOS.
Sementara itu, Tiongkok mengajukan klaim terhadap sebagian besar LTS dengan mengeluarkan peta tahun 1947. Klaim ini berupa garis putus-putus yang kini dikenal dengan nine-dashed line (NDL). Klaim ini tidak berdasarkan UNCLOS karena saat itu memang belum ada UNCLOS. Menurut Tiongkok, klaim ini bedasarkan alasan sejarah. Singkatnya, menurut Tiongkok, sebagian besar kawasan LTS itu memang milik nenek moyang Tiongkok sejak dulu kala. Yang menarik, kini Tiongkok sudah mengakui UNCLOS dan ternyata klaim tahun 1947 itu tidak disesuaikan dengan kaidah UNCLOS.
Klaim NDL ini tidak bedasarkan jarak tertentu dari daratan Tiongkok di LTS. NDL dibuat sedemikian rupa sehingga nampak tanpa dasar yang jelas tetapi memang melingkupi pulau-pulau kecil/karang di LTS yang dikenal dengan Kepulauan Spratly. Selain itu, Tiongkok juga tidak menjelaskan apakah NDL ini untuk mengklaim pulau saja atau juga untuk mengklaim kawasan laut di sekitar pulau-pulau tersebut. Klarifikasi yang diinginkan oleh negara lain atas NDL belum terjawab dengan tuntas sampai saat ini.
Klaim NDL ini mendapat tentangan dari hampir semua negara di kawasan termasuk negara lain di dunia. Indonesia termasuk yang dengan tegas menolak hal ini dan meminta klarifikasi Tiongkok sejak tahun 1995. Sayangnya, Tiongkok tidak memberi jawaban yang memuaskan. Klaim NDL ini juga tidak akurat dari segi geospasial. Peta yang digunakan untuk menunjukkan klaim ini tidak menggunakan sistem koordinat yang memadai sehingga posisi potongan garis NDL menjadi tidak presisi/akurat.
Pada tahun 2009, untuk pertama kalinya Tiongkok menyajikan NDL ini dalam peta resmi berkoordinat cukup akurat ketika memprotes pengajuan landas kontinan oleh Malaysia dan Vietnam. Peta ini diajukan kepada PBB sehingga kini menjadi obyek yang berada di domain publik. Peta tahun 2009 itulah yang kini banyak digunakan berbagai pihak untuk menganalisis klaim maritim Tiongkok di LTS. Peta tahun 2009 itu ditunjukkan dalam Gambar 2 berikut:
Jika berpedoman pada UNCLOS maka klaim Indonesia, Malaysia dan Vietnam memang menimbulkan tumpang tindih. Ketiganya tidak bisa mengklaim laut dengan leluasa seperti yang diatur UNCLOS karena ruang yang tidak cukup akibat jarak ketiganya yang berdekatan. Oleh karena itu, ketiganya harus berbagi laut dan sudah menetapkan garis batas maritim yaitu tahun 1969 (Id-My) dan tahun 2003 (Id-Vn). Batas maritim yang sudah ditetapkan ini hanya untuk berbagi dasar laut (landas kontinen) sedangkan garis batas untuk air laut (ZEE) belum ditetapkan.
Dengan sudah ditetapkannya batas dasar laut antara Indonesia dengan Malaysia dan antara Indonesia dan Vietnam di LTS berarti pembagian dasar laut di kawasan itu sudah jelas. Artinya, hak atas kekayaan dasar laut seperti minyak, gas dan hidrokarbon lainnya sudah jelas peruntukannya. Dalam bahasa sederhana, bagi Indonesia, pembagian atas migas di kawasan itu sudah tidak ada masalah. Maka jika ada pihak yang mengatakan bahwa kedatangan Tiongkok ke kawasan laut dekat Natuna itu untuk berebut migas yang belum jelas pembagiannya, sesungguhnya tidak tepat. Dasar laut di kawasan itu sudah jelas pembagiannya. Yang belum jelas adalah pembagian air laut (ZEE) dan kekayaan yang ada di dalamnya.
Meski belum disepakati, Indonesia sudah mengajukan usulan batas ZEE yang diklaim secara sepihak (unilateral). Klaim sepihak inilah yang nanti menjadi dasar bagi Indonesia ketika berunding dengan negara tetangga yaitu Malaysia dan Vietnam. Klaim sepihak ini juga sudah dituangkan ke peta resmi Indonesia, salah satunya adalah Peta NKRI yang dikeluarkan bulan Mei 2015. Pada Peta NKRI 2015 ini jelas terlihat batas landas kontinen yang sudah ditetapkan dengan Malaysia dan Vietnam serta batas ZEE yang merupakan klaim sepihak Indonesia.
Menurut Indonesia, batas kewenangan Indonesia atas air laut di LTS ‘sudah jelas’ meskipun batas-batas ini baru sebatas klaim sepihak yang masih perlu disepakati dengan Malaysia dan Vietnam. Garis-garis inilah yang dijadikan dasar oleh Indonesia dalam mendefinisikan ruang lautnya, termasuk untuk mengelola sumber daya ikan. Secara khusus ruang laut Indonesia dibagi menjadi 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), dan yang di LTS masuk dalam WPP 711. Klaim dan batas maritim yang sudah disepakati di LTS disajikan dalam Gambar 3 berikut.
Sementara itu, Indonesia memang tidak pernah menganggap Tiongkok sebagai negara yang memerlukan batas maritim dengan Indonesia. Dengan istilah lain, Tiongkok bukanlah tetangga bagi Indonesia dalam hal batas maritim. Pada prinsipnya, negara yang dianggap tetangga dan memerlukan batas maritim adalah negara yang cukup dekat posisinya sehingga hak maritimnya tumpang tindih dengan Indonesia. Hak maritim yang dimaksud tentu saja yang ditentukan berdasarkan kaidah dalam hukum laut internasional yaitu UNCLOS. Bagi Indonesia, dan juga negara-negara di kawasan, hak maritim Tiongkok tidak sampai tumpang tindih dengan hak maritim Indonesia karena daratan yang dijadikan dasar mengukur klaim laut berada sangat jauh di utara. Jika tidak ada tumpang tindih hak maka tidak perlu ada penetapan batas maritim dan itu artinya bukan tetangga.
Indonesia VS Tiongkok
Tadi sudah jelas dikatakan, Indonesia tidak menganggap Tiongkok sebagai tetanga. Di mata Indonesia, NDL tidak ada dan penegasan ini sudah dilakukan ketika Tiongkok mengajukan peta ini lewat PBB tahun 2009. Menariknya, meskipun tidak diakui oleh negara lain, ternyata Tiongkok tetap bersikukuh dengan posisinya bahwa NDL adalah garis yang melingkupi wilayah atau yurisdiksi Tiongkok. Hal ini dibuktikan dengan aktivitas nelayan Tiongkok di lokasi-lokasi yang dilingkupi oleh NDL meskipun itu sangat amat jauh dari daratan utama Tiongkok.
Untuk menganalisis ruang laut antara Indonesia dan Tiongkok, tulisan ini menggunakan klaim resmi Indonesia di Peta NKRI dan NDL di Peta 2009 Tiongkok. Mungkin ada yang bertanya, bukankah NDL itu tidak diakui negara lain termasuk Indonesia, mengapa digunakan dalam analisis ini? Faktanya, Tiongkok tetap menggunakan NDL sebagai dasar aktivitas, termasuk ketika terjadi insiden di dekat Natuna. Sederhananya, NDL mungkin memang tidak ada secara legal tetapi secara de fakto tetap digunakan oleh Tiongkok. Untuk bisa melihat insiden ini secara geospasial (keruangan), peta Tiongkok tahun 2009 adalah sumber terbaik yang ada dan cukup ‘bisa dipertanggungjawabkan’ penggunaannya.
Perlu dingat lagi, NDL itu berupa garis putus-putus, bukan garis utuh, sehingga tidak mudah untuk melihat secara teliti kawasan yang dilingkupi oleh NDL. Oleh karena itu, untuk kepentingan analisis maka garis putus-putus itu perlu disambung terlebih dahulu. Bisa dipahami bahwa dalam menyambung garis ini ada seribu satu cara. Yang lebih penting, Tiongkok tidak pernah menegaskan apakah potongan garis ini harus disambung dan bagaimana cara menyambungnya. Semua pihak dibiarkan menebak-nebak dengan penasaran. Satu ‘petunjuk’ yang diberikan Tiongkok adalah berupa kehadirannya di kawasan laut yang ‘dilingkupi’ NDL, itupun dengan asumsi jika NDL itu disambung dengan mengikuti bentuk dasar NDL.
Jika disambung dengan garis kurva, NDL akan membentuk ruang seperti hurup U yang memuat sebagian besar LTS. Oleh karena itulah klaim Tiongkok ini juga dikenal dengan U-shaped line. Jika mau, garis putus-putus ini tentu bisa disambung dengan berbagai cara lain. Bisa dengan garis lurus, bisa dengan garis lurus sembarang yang menghubungkan dengan pulau-pulau kecil di Kepulauan Spratly, bisa dengan garis lengkung tetapi cekung ke tengah ke arah LTS, bisa juga dengan cara sembarang yang menghasilkan bentuk acak. Intinya, tidak ada ketentuan yang memaksa atau melarang.
Untuk kepentingan analisis ini, saya meyambungkan NDL sehingga membentuk hurup U ini. Tentu saja harus diahami bahwa kordinat NDL ini diperoleh dengan cara interpolasi atau mengira-ngira dengan metode ilmiah yang hasilnya dipengaruhi ketelitian proses. Selain itu, skala peta yang diajukan oleh Tiongkok tahun 2009 itu juga berpengaruh terhadap hasil yang ditampilkan di analisis ini. Meski demikian, dengan memperhatikan ketentuan teknis, saya yakin analisis ini bisa dipertangnggungjawabkan dalam rentang toleransi dan dengan asumsi tertentu. Dari sini bisa terlihat dengan jelas bahwa ada ruang tumpang tindih antara hak ZEE Indonesia dengan klaim Tiongkok di LTS yang cukup luas seperti yang nampak pada Gambar 4.
Jika saja garis-garis NDL itu disambungkan dengan cara yang lain, tentu saja situasinya akan berbeda. Gambar 5 berikut menunjukkan beberapa opsi lain dalam penyambungan NDL menjadi garis utuh dan inipun hanya sebagian kecil karena, sekali lagi, tidak ada penegasan dari Tiongkok perihal penyambungan NDL menjadi garis utuh. Kemungkinaannya bisa tak terhingga banyaknya.
Perlu saya tegaskan lagi, garis-garis batas air laut yang ada di LTS merupakan klaim sepihak yang belum disepakati. Indonesia mengajukan klaim sepihak, demikian pula Tiongkok. Bedanya, klaim Indonesia berdasarkan UNCLOS sedangkan Tiongkok tidak medasarkan klaimnya pada UNCLOS tetapi alasan sejarah. Dari perspektif legal, jelas klaim Indonesia lebih kuat. Selain itu, secara legal, sekali lagi, Indonesia bahkan menganggap klaim Tiongkok itu tidak ada sehingga tidak perlu dirisaukan.
Apakah Natuna Akan Bernasib Sama dengan Sipadan dan Ligitan?
Tiongkok tidak pernah mengklaim Natuna. Natuna jelas secara sah menjadi bagian dari kedaulatan Indonesia dan tidak ada satu negarapun yang meragukan itu. Tiongkok bahkan sudah menegaskan itu secara resmi. Jika dilihat posisi NDL, klaimnya juga tidak mengikutsertakan satu pulaupun di Kepulauan Natuna, meskipun memang sangat dekat dengan Natuna.
Lalu, mengapa Presiden Jokowi perlu datang ke Natuna dan mengadakan rapat terbatas di sana bersama para menteri? Kehadiran itu adalah sinyal yang menunjukkan keberadaan dan kehadiran Indonesia pada wilayah kedaulatannya. Kehadiran itu bukan karena kekhawatiran bahwa Natuna akan direbut oleh Tiongkok. Kedaulatan Natuna sudah jelas dan final, tidak akan direbut siapapun. Meskipun tidak ada kaitannya dengan status legal Natuna, kehadiran Presiden Jokowi secara psikologis mewakili perasaan jutaan rakyat Indonesia. Beliau dan para pembantu presiden sadar betul, tidak semua orang paham hukum laut dan melihat persoalan ini dari sudut pandang legal. Sebagian besar memandangnya dengan emosi nasionalisme yang kuat dan kedatangan Pak Jokowi mewakili emosi nasionalisme itu.
Natuna Berbeda ceritanya dengan Sipadan dan Ligitan. Ketika Sipadan dan Ligitan dipersoalkan oleh Indonesia dan Malaysia, kedaulatan atas kedua pulau itu belum final meskipun Indonesia waktu itu berusaha mengakuinya. Singkatnya, status hukum Sipadan dan Ligitan waktu itu disebut “tera nulius” alias pulau tak bertuan secara hukum. Maka dari itu, Indonesia dan Malaysia kemudian sama-sama berusaha membuktikan siapa yang layak untuk memiliki dan terbukti Malaysia yang lebih berhak menurut Mahkamah Internasional (MI). Silakan baca keputusan MI tahun 2002 soal ini. Dalam bahasa sederhana, Indonesia tidak pernah kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan tetapi memang gagal menambah dua pulau baru.
Sekali lagi, kedatangan Presiden Jokowi di Natuna adalah untuk menunjukkan kehadiran negara di pulau terluar/terdepan. Hal ini akan mengirim sinyal tegas kepada Tiongkok dan siapa saja bahwa Indonesia serius menjaga kedaulatannya, termasuk juga menegaskan hak berdaulat atas laut yang merupakan kewenangan Indonesia sesuai UNCLOS. Yang terpenting, instruksi Presiden Jokowi jelas bahwa Natuna harus dibangun agar masyarakat di sana merasakan kesejahteraan dan tidak tertinggal. Pendekatan yang penting untuk menjaga perbatasan adalah juga kesejahteraan (proseperity) tidak hanya keamanan (security).
Insiden Penangkapan Ikan oleh Tiongkok
Jika posisi kapal nelayan Tiongkok yang menangkap ikan itu diplot di peta sesuai dengan koordinat yang diperoleh petugas Indonesia, maka posisinya adalah di dalam ZEE yang menjadi hak Indonesia. Dalam perspektif Tiongkok, kapal itu berada di kawasan yang ada dalam lingkup NDL. Bagi Indonesia, tentu saja posisi ini ada di dalam ZEE Indonesia, bukan di kawasan tumpang-tindih, karena bagi Indonesia, klaim Tiongkok itu tidak ada. Di sisi lain, Tiongkok rupanya ngotot menggunakan NDL ini sebagai dasar beraktivitas dan posisi kapal nelayan ini berada sangat dekat dengan sisi terluar NDL. Hal ini seakan menyatakan bahwa Tiongkok memang menegaskan klaim lautnya berdasarkan NDL. Posisi estimasi Hwai Fey tanggal 19 Maret 2016 bisa dilihat di Gambar 6 berikut.
Insiden lain yang terjadi sejak tahun 2010 selalu menunjukkan posisi di dalam ZEE yang diklaim Indonesia. Dari perspektif lain, posisi kapal Tiongkok itu juga selalu di dalam kawasan yang dilingkupi dengan NDL. Dari perspektif Indonesia, penangkapan ikan itu terjadi di ZEE Indonesia sehingga itu adalah kesalahan Tiongkok. Apakah Tiongkok juga bisa mengatakan hal yang sama bahwa penangkapan ikan itu terjadi di dalam kawasan laut mereka? Tentu kita harus melihat lagi duduk perkara klaim itu sendiri. Jika ditinjau dari hukum laut internasional, jelas klaim itu tidak memiliki dasar yang kuat. Namun faktanya, itulah yang dijadikan dasar oleh Tiongkok dalam beraktivitas selama ini.
Sebagai negara berdaulat yang mengklaim kawasan laut berdasarkan ketentuan hukum internasional (UNCLOS), Indonesia tentu tidak bisa membiarkan ada nelayan negara lain menangkap ikan di kawasan laut yang menjadi haknya. Bagi Indonesia, kawasan itu bahkan bukan sekedar klaim tetapi merupakan hak yang dilindungi oleh hukum laut internasional meskipun tentunya masih perlu penetapan dengan negara tetangga. Yang lebih penting, tetangga yang dimaksud adalah Malaysia dan Vietnam, bukan Tiongkok.
Ketika kapal nelayan Tiongkok ini ditangkap ternyata datang kapal besar yang seakan ‘mengawal’. Hal ini juga menimbulkan suatu persepsi bahwa mungkin memang ada kesengajaan Tiongkok untuk mengirimkan nelayan ke kawasan itu untuk menunjukkan kehadiran (presence). Untuk menjustifikasi tindakannya, peryataan resmi dari Tiongkok menegaskan bahwa nelayan itu beraktivitas di tempat penangkapan ikan tradisional atau traditional fishing ground milik Tiongkok. Secara sederhana, kawasan itu dianggap oleh Tiongkok sebagai tempat penangkapan ikan yang sudah digunakan oleh Tiongkok secara turun-temurun.
Lepas dari klaim Tiongkok yang tidak berdasarkan UNCLOS, usaha untuk melindungi warga negaranya tentu bisa dipahami sebagai kewajiban negara. Setiap negara tentu wajib melindungi warga negaranya, dalam situasi apapun. Insiden ini sebenarnya sudah terjadi juga tahun 2010, 2013 dan kini 2016. Banyak yang mengatakan ini sebagai siklus tiga tahunan, entah sengaja entah tidak. Atau bisa jadi ini adalah insiden yang diliput media dan ada banyak insiden lain yang tidak terberitakan. Entahlah.
Bagaimana Selanjutnya?
Indonesia tidak bisa membiarkan aktivitas nelayan Tiongkok di dekat Natuna di dalam ZEE yang menjadi haknya menurut UNCLOS. Tindakan penangkapan dan protes formal oleh Kementerian Luar Negeri RI merupakan langkah yang tepat. Di satu sisi kita menunjukkan kehadiran kita di kawasan tersebut dan di sisi lain kita terus menguatkan posisi kita secara diplomatis. Sementara itu, perlu dipahami juga bahwa Tiongkok memang wajib melindungi warga negaranya, salah ataupun benar. Yang perlu dipahami adalah fakta bahwa garis-garis batas air laut yang ada di LTS adalah klaim sepihak, baik oleh Indonesia maupun Tiongkok. Bedanya, adalah dasar klaim tersebut. Indonesia menggunakan hukum laut internasional yaitu UNCLOS sementara Tiongkok mendasarkan pada alasan sejarah.
Bisa dipahami bahwa klaim NDL Tiongkok ini tidak sesuai dengan UNCLOS karena memang diajukan sebelum UNCLOS. Meski demikian, harus diingat bahwa Tiongkok sudah meratifikasi UNCLOS. Perlu dipahami bahwa UNCLOS muncul, salah satunya, karena zaman dulu negara-negara melakukan klaim laut secara sepihak dan hanya demi keuntungan sendiri. Fenomena ini menimbulkan situasi yang menimbulkan ketidakadilan. Negara yang kuat dan maju cenderung akan mendapatkan laut yang lebih luas dibandingkan negara kecil yang lemah karena mereka tidak mampu. Hal inilah yang memotivasi perlunya suatu hukum yang adil bagi semua negara. UNCLOS adalah jawabannya. Jadi, menurut saya pribadi, UNCLOS muncul untuk menjadi jawaban atas fenomena atau potensi ketidakadilan. Jika ada suatu negara sudah terlanjur mengklaim laut secara eksesif dan tidak sesuai UNCLOS lalu dia meratifikasi UNCLOS maka sebaiknya negara tersebut menyesuaikan atau mengubah klaim lamanya itu. Itulah tujuan UNCLOS dan itulah maknanya mengakui UNCLOS. Untuk apa mengakui UNCLOS tetapi tidak mau menyesuaikan klaim laut agar taat pada UNCLOS? Tiongkok perlu mempertimbangkan hal ini.
Praktik penyesuaian klaim ini sebenarnya pernah dilakukan oleh Filipina. Sebelum adanya UNCLOS, Filipina memiliki klaim laut berupa kotak segi empat yang melingkupi seluruh kepulauannya. Hal ini merupakan peninggalan penjajah dan tertuang pada Treaty of Paris serta diakomodir di konstitusi Filipina. Karena meratifikasi UNCLOS dan ingin menjadi negara taat hukum, Filipina dengan sadar menyesuaikan klaim lautnya dan membatalkan kotak segi empat yang semula menjadi dasar klaimnya. Ini adalah teladan dari Filipina dan Tiongkok semestinya bisa bercermin secara positif.
Semua pihak di Indonesia perlu memahami duduk perkara kasus ini secara jernih dan sesuai kaidah ilmu pengetahuan dan hukum yang tepat. Hal ini akan membuat respon yang padu dari berbagai pihak/institusi. Selain itu, momen ‘riuh rendah’ seperti ini mengindikasikan adanya kepedulian yang cukup tinggi dari semua pihak akan isu kelautan. Harus diakui bahwa isu kelautan dan kemaritiman kini menempati posisi penting di media dan itu merupakan ‘keberhasilan’ tersendiri bagi Indonesia. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan laut yang lebih luas dari daratan, isu kelautan memang selayaknya dianggap penting dan diperhatikan secara serius.
Langkah Presiden yang tegas dan jelas harus diikuti oleh institusi di bawahnya melalui penerjemahan teknis yang operasional sifatnya. Kita semua paham bahwa hak atas laut yang luas bukanlah akhir dari segalanya. Laut yang luas itu, yang sudah ditetapkan batasnya maupun yang masih memerlukan penetapan batas, perlu dijaga dengan baik. Perlu sumberdaya manusia yang memadai serta alat utama sistem senjata (alutsista) yang juga mencukupi. Hal ini harus diterjemahkan dalam pengalokasian anggaran dan kerjasama semua pihak dengan koordinasi yang baik.
Kasus di Laut Tiongkok Selatan bukan hanya soal berebut ikan tetapi soal menegaskan dan menjaga hak berdaulat. Meski demikian, penegasan ini harus disertai pemahaman yang baik akan aspek legal dan teknisnya. Sikap tegas dan jelas dari pimpinan tertingi Indonesia jelas penting untuk menunjukkan sikap yang terhormat dan berwibawa. Meski demikian, sikap itu tentu harus diterjemahkan dengan proses rinci yang telaten, hati-hati dan berpegang pada ketentuan hukum yang berlaku. Indonesia sebagai bangsa besar harus menjadi teladan dalam mengelola kedaulatan dan hak berdaulat di laut. Perlawanan kita terhadap sebuah tirani tidak boleh membuat kita menjadi tirani baru. Dengan kepedulian dan usaha keras untuk belajar, saatnya mengatakan “bukan hanya nenek moyangku, aku juga seorang pelaut”. Pelaut yang menjaga kedaulatan dan hak berdaulat dengan nasionalisme yang tegas dan cerdas.