Alur Laut Kepulauan Indonesia alias ALKI, barang apa lagi ini?
Category : Blog Maritime Boundaries
Dulu banget, laut di antara pulau-pulau Indonesia itu bukan milik Indonesia. Akibatnya kapal asing bebas berkeliaran di situ. Melalui perjuangan diplomat-diplomat keren Indonesia, akhirnya sekarang laut itu jadi milik Indonesia. Kamu perlu baca tulisanku yang lain untuk paham duduk perkaranya.
Coba bayangkan, kita menegaskan kepada masyarakat dunia bahwa laut yang dulunya milik semua orang dan bebas dipakai siapa saja itu kini menjadi milik Indonesia. Kira-kira masyarakat dunia langsung setuju nggak? Kamu mungkin bisa bayangkan, diplomat kita waktu itu bilang “sori, bro dari seluruh dunia, laut yang dari dulu kalian pakai di antara pulau-pulau kami, kini kami ambil alih dan kami akui sebagai milik kami.” Apakah kira-kira masyarakat dunia akan bilang “oh silakan bro Indonesia, kami dengan senang hati merelakan”? Pasti nggak semudah itu lah ya. Semua itu melalui perjuangan panjang sampai akhirnya usulan Indonesia itu diterima dan laut di antara pulau-pulau Indonesia disebut sebagai perairan kepulauan Indonesia.
Pertanyaan lain, apakah masyarakat dunia begitu saja merelakan laut yang tadinya laut bebas itu menjadi sepenuhnya milik Indonesia? Apakah kemudian masyarakat dunia tidak boleh lewat di laut di antara pulau-pulau Indonesia? Tentu tidak demikian ceritanya. Ngga fair dong bagi masyarakat dunia kalau tiba-tiba dilarang melintas di antara pulau-pulau Indonesia padahal dari zaman kuda gigit besi mereka terbiasa melitas di situ. Pasti terjadi kompromi. Kalau dunia menyetujui Indonesia untuk mengklaim laut itu, pasti ada sesuatu yang mereka minta juga. Gak ada makan siang gratis di dunia ini, kan?!
Kesepakatannya waktu itu adalah bahwa Indonesia boleh memiliki laut di antara pulau-pulaunya tetapi masyarakat dunia meminta agar tetap diizinkan melintas di laut tersebut. Ini yang namanya kompromi dalam negosiasi. Tidak ada pihak yang mendapatkan semua hal yang dia minta. Kalau ada pihak yang mau mendapatkan semua hal yang dia minta, itu namanya mau menang sendiri dan tentu saja itu bukan negosiasi. Yang lebih penting, itu bukan cara dan sikap bangsa terhormat. Indonesia kan bangsa besar dan terhormat, jadi kita mau bernegosiasi. Mau mendengarkan masukan dan keinginan bangsa lain.
Akhirnya, disepakati bahwa bangsa lain boleh melintas di perairan kepulauan Indonesia dan Indonesia diberi hak untuk menentukan jalur perlintasan yang diizinkan. Sederhananya, orang lain boleh lewat tetapi Indonesia berhak tentukan di mana mereka boleh lewat. Tentu saja tidak berakhir di situ, jalur yang ditentukan Indonesia itu juga tetap harus disetujui oleh masyarakat dunia. Jadi ribet ya? Nggak juga sih, negosiasi kan memang seperti itu. Semua orang punya hak bicara dan solusi dicapai dengan kompromi. Kalau nggak kompromi pasti ga akan maju-maju.
Nah, jalur perlintasan yang ditentukan oleh Indonesia inilah yang kemudian disebut sebagai Alur Laut Kepulauan Indonesia, alias ALKI. Dalam bahasa Inggris, jalur-jalur ini disebut sebagai Archipelagic Sea Lanes atau ASL.
Ketentuan penetapan ALKI ini diatur dalam pasal 53 Konvensi PBB tentang Hukum Laut alias UNCLOS. Di situ ditegaskan satu perihal penting, bahwa negara kepulauan seperti Indonesia boleh menetapkan ALKI tetapi tidak dikatakan sebagai kewajiban. Yang cukup mengejutkan, jika negara kepulauan tidak menetapkan ALKI di perairan kepulaunnya maka negara asing boleh melintas ‘seenaknya’ pada jalur-jalur yang dianggap layak digunakan sebagai perlintasan internasional. Nah lo! Bayangin aja, kalau kita tidak menetapkan ALKI maka negara asing akan ‘bebas’ melintas di mana saja yang mereka anggap layak. Jadi pusing dong kita mengawasinya. Penetapan ALKI ini justru bertujuan untuk kemudahan kita dalam mengawasi kapal-kapal asing. Jadi, penetapan ALKI ini sejatinya bukan kewajiban tetapi kebutuhan bagi kita.
Indonesia sendiri sudah mengajukan tiga jalur ALKI yang mengarah dari utara ke selatan. Usulan ini sudah diajukan ke masyarakat dunia melalui International Maritime Organization alias IMO. Sayang sekali, usulan ini ditolak karena jalur utara selatan ini dianggap belum cukup. Indonesia diharapkan juga menentapkan jalur dari barat ke timur, melihat karakter geografis kepulauan Indonesia yang membentang dari barat ke timur. Tadinya Indonesia bersikeras tidak mau tetapi terjadi kebuntuan karena sikap itu.
Pilihannya kemudian adalah, Indonesia tetap bersikeras hanya mengajukan ketiga jalur itu dan pasti tidak disetujui (karena dianggap belum tuntas) atau Indonesia melakukan kompromi. Akhirnya, dengan pertimbangan yang cermat, Indonesia menyatakan bahwa tiga jalur ALKI yang diajukan itu merupakan pengajuan sebagian (parsial) dan akan disusul dengan jalur ALKI lainnya. Ini adalah bentuk kelihaian diplomasi agar usulan Indonesia untuk ketiga ALKI itu disetujui. Dengan kompromi demikian, akhirnya ketiga ALKI Indonesia itu disetujui olah masyarakat dunia. Tentu saja harus diingat bahwa di mata masyarakat dunia, ALKI Indonesia belum rampung karena janji kita adalah akan mengajukan jalur ALKI tambahan.
Jadi, ALKI yang kita punya sekarang ini belum final. Pertanyaan kemudian, apakah dengan ini berarti Indonesia dianggap belum menetapkan ALKI? Secara lebih spesifik, di kawasan yang belum ada ALKI-nya, apakah kapal asing masih bebas melitas pada jalur-jalur yang dianggap layak? Sepertinya, demikianlah kenyataanya. Indonesia dianggap belum tuntas mengerjakan PR ALKI. Kalau sudah tahu begitu, mengapa Indonesia tidak tuntaskan saja? Kenapa tidak ajukan saja ALKI tambahan agar masyarakat dunia segera mengakui dan kita aman tenteram? Pertanyaan ini juga ada di kepalaku sejak lama.
Urusannya tidak sesederhana itu. Kamu perlu paham bahwa di jalur ALKI ini, siapa saja boleh melintas, termasuk kapal induk yang membawa pesawat tempur. Kebayang nggak sih, ada kapal induk Amerika yang melintas di ALKI kita dan membawa belasan pesawat tempur F-35? Apa nggak ngeri tuh? Selain itu, pelintasan di ALKI ini bisa menggunakan ‘normal mode’, artinya mereka bisa melitas dengan cara normal tanpa perlu melakukan hal-hal khusus. Misalnya, kapal selam tetap boleh menyelam, tidak perlu menampakkan diri di permukaan. Artinya pengawasannya akan lebih sulit. Rupanya, inilah yang membuat sebagian pihak di Indonesia merasa ragu-ragu untuk menetapkan ALKI tambahan selain ketiga ALKI yang sudah disetujui masyarakat dunia itu. Menetapkan ALKI ibaratnya membuka lebih banyak pintu bagi orang asing untuk masuk ke negara kita dan pihak asing itu bisa menimbulkan bahaya. Kamu mungkin setuju dengan pandangan ini kan?
Jadi nggak usah menetapkan ALKI tambahan nih? Kamu dan sebagian pihak di Indonesia mungkin lupa bahwa jika kita tidak menetapkan ALKI maka pihak asing justru bisa menggunakan jalur pelintasan secara ‘bebas dan seenaknya’ asalkan jalur itu dianggap layak sebagai pelintasan internasional. Nah lo?! Bingung jadinya? Semoga nggak ya. Intinya, kita harus ingat bahwa tidak menetapkan ALKI itu tidak mengamankan posisi kita dari kekhawatiran soal keamanan. Bangsa lain malah mungkin senen-seneng aja kalau kita tidak tetapkan ALKI karena dengan begitu mereka justru bebas melintas di mana saja.
Lalu apa yang harus kita lakukan? Menurutku, mending tetapkan saja ALKI tambahan sehingga PR kita selesai dan kita bisa fokus hanya mengawasi jalur yang sudah ditetapkan itu. Khawatir soal alutsista TNI AL kita yang belum memadai? Di situlah tantangannya. Kita harus mau dan harus bisa meningkatkan kapasitas. Negara kepulauan terbesar di dunia kok! Jangan cemen dong!